BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kecantikan
dan ketampanan adalah idaman setiap manusia. Karena dengan kecantikan dan
ketampanan dapat meningkatkan rasa percaya diri. Banyak usaha untuk mencapai
hal itu, misalnya dengan cara perawatan, facial,
dan operasi plastik. Walau harus mengeluarkan uang yang cukup banyak mereka
tidak masalah yang penting bisa mempercantik atau mempertampan diri.
Akhir-akhir ini banyak orang terkena penyakit bell’s palsy. Bell’s palsy adalah sebuah kelainan dan ganguan
neurologi pada nervus cranialis VII
(saraf facialis) di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Paralyse Bell ini hampir selalu terjadi
unilateral, namun demikian dalam jarak satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat
berulang atau kambuh, yang menyebabkaan
kelemahan atau paralisis,
ketidaksimetrisan kekuatan/aktivitas muscular pada kedua sisi wajah (kanan dan
kiri), serta distorsi wajah yang khas. Hal ini sangat menyiksa diri karena
membuat orang menjadi kurang percaya diri. Wajah kelihatan tidak cantik
karena mulut mencong, mata tidak bisa berkedip, mata berair.
Kata
Bell’s Palsy itu sendiri diambil dari
nama seorang dokter dari abad 19, Sir
Charles Bell, orang pertama yang menjelaskan kondisi ini dan menghubungkan
dengan kelainan pada saraf wajah.
Prevalensi Bell’s Palsy di Indonesia, secara pasti sulit
ditentukan. Data yang dikumpulkan dari empat Rumah Sakit di Indonesia
didapatkan frekuensi Bell’s Palsy
sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21–50
tahun, peluang untuk terjadinya pada wanita dan pria sama. Tidak didapati
perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa
penderita didapatkan adanya riwayat terkena udara dingin atau angin berlebihan
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di
atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah dalam laporan ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana pengaruh infrared
terhadap proses penurunan rasa tebal diwajah?
2. Bagaimana pengaruh electrical
stimulation faradisasi terhadap peningkatan kekutan otot wajah?
3.
Adakah pengaruh latihan mirror exercise terhadap peningkatan fungsi motoris otot wajah?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengaruh infrared terhadap proses penurunan rasa tebal diwajah.
2. Untuk mengetahui pengaruh electrical stimulation faradisasi terhadap peningkatan kekutan otot
wajah.
3. Untuk mengetahui pengaruh electrical stimulation faradisasi terhadap peningkatan kekutan otot
wajah
BAB II
KAJIAN TEORI
- Deskripsi Teoritis
1. Definisi Bell’s Palsy
Bell’s Palsy adalah paralisis wajah akut akibat inflamasi dari nervus
fasialis (Saputra, 2009). Gangguan ini merupakan paralisis fasialis
lower motor neuron (LMN) unilateral idiopatik (Ginsberg, 2008). Bell’s
Palsy biasanya terjadi secara mendadak. Penderita setelah bangun pagi
mendapati salah satu sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti
kesemutan di sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam
waktu 48 jam atau kurang (Dewanto, dkk, 2009).
2. Anatomi Fungsional
a.
Otot-otot wajah
Gambar 1. Otot- otot wajah
b. Nervus Facialis
Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius wisberg. Ada pakar yang
menganggap sebagai saraf terpisah, namun pada umumnya saraf intermedius ini di
anggap sebagai bagian dari saraf fasialis. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf
facialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah di hantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi eksteroseptif mempunyai badan sel nya di ganglion genikulatum dan berakhir pada desendens dan inti akar desendens dari saraf trigeminus (nV). Hubungan sentralnya
identik dengan saraf trigeminus.
3. Etiologi
a. Teori Ischemia Vaskuler
Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan sirkulasi
darah ke saraf fasialis. Kondisi Lingkungan dingin, sering terkena angin malam,
terpapar kipas angin dan AC, diperkirakan membuat pembuluh darah ke saraf
fasialis tersebut menyempit atau vasospasme. Penyempitan itu mengakibatkan
iskemia atau berkurangnya suplai oksigen, sehingga terjadi kelumpuhan.
b. Teori Infeksi Virus
Beberapa ahli menyatakan penyebab Bell’s palsy berupa
virus herpes yang membuat saraf menjadi bengkak akibat infeksi (Wikipedia,
2012).
c. Teori Herediter
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy bisa
disebabkan karena keturunan, dimana kelainannya berupa kanalis fasialis yang
sempit dan system enzim.
4. Patologi
Para ahli menyebutkan bahwa Bell’s palsy terjadinya di akibatkan dari proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus pada nervus
fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus
fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai
foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi.
5. Tanda dan Gejala Klinis
Pada pasien Bell’s
palsy, tanda dan gejala klinisnya yang timbul pada sisi wajah ipsilateral seperti kelemahan otot
wajah, kerutan dahi mengilang ipsilateral,
tampak seperti orang letih, tidak mampu atau sulit mengedipkan mata, hidung
terasa kaku, sulit bicara, sulit makan dan minum, sensitif terhadap suara
(hiperakusis, salivasi yang berlebihan atau berkurang, pembengkakan wajah,
berkurang atau hilanganya rasa kecap, nyeri didalam atau disekitar telinga, dan
air liur sering keluar. Adapun gejala pada mata ipsilateral yaitu: sulit atau
tidak mampu menutup mata ipsilateral, air mata berkurang, alis mata jatuh,
kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya (Dewanto, dkk, 2009).
6. Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi pada Bell’s palsy, antara lain:
a. Sindroma air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)
Sindroma air mata buaya merupakan gejala tersebut
pertama timbul karena konyungtiva bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak
mata yang lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu.
b. Synkenesis
(associated movement)
Dalam hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan
satu persatu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien
disuruh memejamkan mata, maka otot obicularis
oris pun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila disuruh
mengembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat (Lumbantobing, 2012).
c. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan,
tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic fasialis. Akan tetapi, tidak semua
tic fasialis merupakan gejala sisa dari bell’s
palsy (Lumbantobing, 2012).
- Proses fisioterapi
1. Assessment
Assessment
merupakan komponen penting dalam segala manajemen penatalaksanaan fisioterapi, termasuk
dalam kasus bell’s palsy. Pemeriksaan
ini menjadi begitu penting karena sedikitnya ada 3 alasan pokok, yaitu:
a. Dapat
mengidentifikasi masalah pasien yang akan diinterverensi
oleh fisioterapis, dengan kata lain menegakan diagnosis fisioterapi.
b. Dapat
mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada pasien dari waktu ke waktu.
1) Memberikan
motivasi kepada pasien
2) Memberikan
informasi tentang efektivitas terapi
yang berguna untuk menentukan manajemen penatalaksanaan fisioterapi
selanjutnya.
c. Dapat
dipakai sebagai alat ukur untuk menetukan biaya atau efesiensi terapi.
Dapat memilih salah satu alat ukur, beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain :
1)
Anamnesis
a)
Data diri
(1)
Nama
(2)
Umur
(3)
Jenis kelamin
(4)
Agama
(5)
Pekerjaan
(6)
Alamat
(7)
No. CM
b)
Data data medis Rumah sakit
(1)
Diagnosis medis
(2)
Catatan klinis
(3)
Medika mentosa
(4)
Hasil lab
(5)
Foto rontgen
2)
Pemeriksaan Subjektif
a)
Keluhan utama pasien
Adalah keluhan yang dirasakan oleh pasien mengenai
penyakit tersebut, meliputi :
(1)
Lokasi keluhan
(2)
Penyebab
(3)
Faktor-faktor yang memperberat atau memperingan
(4)
Irritabilitas
dan derajat
b)
Riwayat penyakit sekarang
Adalah proses perjalanan penyakit dari awal hingga
saat ini, proses pengobatan yang telah dilakukan.
c)
Status sosial
Status sosial adalah interaksi sosial pasien dengan
lingkungannya, meliputi :
(1)
Lingkunga kerja
(2)
Lingkungan tempat tinggal
(3)
Aktivitas rekreasi di waktu senggang
(4)
Aktivitas sosial
d)
Riwayat keluarga
Adalah riwayat keluarga pasien mengidap penyakit
serupa dengan pasien.
e)
Riwayat penyakit dahulu
Adalah riwayat penyakit pasien sebelumnya yang membuat
resiko mengidap penyakit sekarang yang diderita.
3)
Pemeriksaan objektif
a)
Pemeriksaan vital sign
Pemeriksaan ini berfungsi sebagai acuan tanda-tanda
penting dalam tubuh.
(1)
Tekanan darah
(2)
Denyut nadi
(3)
Pernafasan
(4)
Temperatur
(5)
Tinggi badan
(6)
Berat badan
b)
Inspeksi
Adalah pemeriksaan meneliti pasien dengan indra penglihatan,
bisa disaat pasien statis maupun dinamis.
c)
Palpasi
Adalah pemeriksaan pasien dengan cara meraba atau
menyetuh pasien dengan indra peraba, meliputi :
(1)
Pitting Oedema
(2)
Spasme
(3)
Suhu lokal
d)
Pemeriksaan mmt
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui
kekuatan otot dengan tujuan membantu menegakan diagnose, dengan menggunakan Scala Daniels & Worthingham’s Muscle
Testing.
Nilai
|
Keterangan
|
0
|
Zero, tidak
ada kontraksi
|
1
|
Trace,
kontraksi minimal
|
3
|
Fair, ada
kontraksi dilakukan dengan susah payah
|
5
|
Normal, ada
kontraksi dan terkontrol
|
No
|
Nama Otot
|
Fungsi
|
1
|
m. frontalis
|
Mengerutkan
dahi dan mengangkat alis
|
2
|
m.corugator
supercili
|
Mengerakkan
kedua alis mata kemedial, sehingga terbentuk benturan vertical diantara kedua
alis
|
3
|
m.Proceus
|
Mengangkat
tepi lateral cuping, hidung, sehingga berbentuk kerutan diagonal sepanjang
pangkal hidung
|
4
|
m.
orbicularisoculi
|
Menutup mata
|
5
|
m. nasalis
|
Mengembang
kempiskan cuping hidung
|
6
|
m.depressorangguli
orris
|
Menarik ujung
mulut kebawah
|
7
|
m.zygomatikum
mayor
|
Tersenyum
|
8
|
m.zygomatikum
minor
|
Tersenyum
|
9
|
m. obicularis
oris
|
Gerakan
bersiul atau mencucu
|
10
|
m. buncinator
|
Merapatkan
bibir dengan pipi dikempiskan seperti mengunyah
|
11
|
m. mentalis
|
Menarik ke
atas ujung dagu
|
12
|
m. risorius
|
Menarik sedut
bibir kelateral dan menbentuk lesung pipi
|
2.
Penetapan Diagnose
Saat ini penanganan fisioterapi lebih menekankan
kepada pasien. Salah satu metode yang popular untuk mengkategorikan problem
pasien dengan gangguan neurologi
adalaha klasifikasi dari WHO. Klasifikasi ini mulai dikembangkan pada tahun
1980-an dipakai secara luas di dunia sebagai kesamaan istilah yang dipakai
dalam dunia klinis, pengumpulan data dan penelitian.
a.
Impairtment
Merupakan hilangnya atau tidak normalnya aspek psikologis, fisiologis, struktur
anatomis ataupun fungsi. Contohnya adalah kelemahan, gangguan ekspresi.
b.
Activity
limitation
Merupakan kesulitan pasien melangsungkan suatu
aktivitas dengan cara atau dengan dikategorikan dalam batas normal. Biasanya
dalam membicarakan activity limitation ini
focus ada dalam hal fungsi atau aktivitas fungsional. Contoh adalah
ketidakmampuan menutup mata,megerutkan dahi,tersenyum dan bersiul.
c.
Participation
restriction
Merupakan problem yang lebih kompleks yang melibatkan
lingkungan pasien, baik lingkungan fisik, non fisik. Biasanya fisioterapi tidak
sampai sejauh ini dalam menegakkan problematika/diagnose fisioterapi.
Pada pembuatan kasus neurologi, sesuai dengan keterangan-keterangan diatas, maka yang
dituliskan sebagai list of problem
adalah gangguan fungsional pasien sedangkan gangguan impairment menjadi faktor yang menyebabkan. Berdasarkan seluruh
permasalahan yang ada, maka selanjutnya dibuatlah prioritas masalah yang
dimaksudkan untuk mengarahkan dan memprioritaskan rencana dan interverensi fisioterapi.
3.
Intervensi
Fisioterapi
Pemilihan teknologi interverensi yang digunakan
hendaknya didasari oleh informasi tentang efektivitas
dari terapi tersebut. Yang bisa didapat dari teori yang valid. Terbukti efektif dalam clinical
trial, atau terbukti efektif dalam penelitian. Dalam pemberiannya harus
disertai dengan teknik dan ketrampilan dari fisioterapinya setinggi mungkin.
a. Infra Red
Adalah radiasi elektromagnetik
dari panjang gelombang lebih panjang dari cahaya tampak tetapi lebih pendek
dari radiasi gelombang radio. Panjang gelombang 700 nm dan 1 mm.
Pada kasus ini IR meningkatkan sirkulasi mikro.
Bergetarnya molekul air dan pengaruh inframerah akan menghasilkan panas yang
menyebabkan pembuluh kapiler membesar,
dan meningkatkan temperature kulit memperbaiki sirkulasi darah dan dapat
mengurangi nyeri yang dirasakan.
Indikasi Infra Red kondisi sub akut kontusio (memar),muscule
strain, sprain,sinovitis,rheumatoidartitis,osteoartitis,myalgia,lbp,neuralgia,neururitis,gangguan srirkulasi darah (toa,thomboplebitisraynold’s disqase)
Kontraindikasi Infra Red daerah dengan insufiensi pada
darah, gangguan sensibilitas kulit, adanya kecenderungan terjadinya pendarahan.
Pemakaian Infra Red dengan dosis : 15 menit Jarak :
30 – 45 cm.
b. Faradisasi
Adalah arus listrik bolak balik yang tidak simetris
yang mempunyai durasi 0,01-1 ms dengan frekuensi 50-100 cy/det.
Pada kasus ini faradisasi
dapat menstimulasi saraf sensorik, apabila dialirkan kedalam tubuh timbul
perasaan tetusuk-tusuk halus, mengakibatkan vasodilatasi
pembuluh darah superficial sehingga
kulit nampak kemerah-merahan. Dan pada stimulasi motorik apabila intensitas cukup besar akan menimbulkan kontraksi
otot yang dipersyarafi oleh saraf yang di stimulasi, yang berfrekuensi 50 cycle/detik.
Indikasi dari faradisasi adalah keluhan nyeri, hyper tonic atau spastic, kelumpuhan atau kelemahan otot-otot perifer, gangguan vegetative, kondisi neuropaksia.
Kontra indikasi penyaki arteri, pembentukan thrombus,
infeksi akut, gangguan sensibilitas pada daerah yang akan diobati, ada luka
terbuka pada daerah yang akan diobati,
Pemakaian faradisasi dengan dosis 30× kontraksi pada
setiap masing-masing motor point.
c. Massage
Massage diberikan pada wajah yang lesi. Sebelumnya
tuangkan media pelicin ditangan terapis. Usapkan pada wajah pasien dengan
gerakan stroking menggunakan seluruh permukaan tangan dengan arah
gerakannya tidak tentu. Lakukan gerakan efflurage secara gentle, arah
gerakan dari dagu kearah pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke
telinga. Dilanjutkan dengan finger kneading dengan jari-jari dengan cara
memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke seluruh otot wajah yang
terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan tengah dahi menuju ke telinga.
Kemudian lakukan tapping dengan jari-jari dari tengah dahi menuju ke
arah telinga, dari dekat mata menuju ke arah telinga, dari hidung ke arah
telinga, dari sudut bibir ke arah telinga dan dari dagu menuju kearah telinga.
Khusus pada bibir, lakukan stretching kearah yang lesi.
Indikasi dari massage yaitu headaches(sakit kepala), neck stiffnes, carpal tunnel syndrome, upper and
mid back pain, whiplash injuries atau
neck pain, sciatica, TMJ dysfunction dan pain, arm and hand pain, leg and foot pain.
Kontra indikasi massage
therapy keadaan patologis yang dapat menyebar lewat aliran darah atu
limpre, daerah mengalami pendarahan, radang acut, gangguan sirkulasi sistem,
gangguan sensasibilitas dan AIDS
Dengan
dosis pengulangan 3x pada setiap teknik gerakan massagenya.
d. Terapi latihan
Pada
kondisi bell’s palsy, latihan yang dilakukan adalah mirror exercise (didepan cermin) yang akan memberikan biofeedback,
yang dimaksud dengan biofeedback adalah mekanisme kontrol suatu sistem
biologis dengan memasukan kembali keluaran yang dihasilkan dari system biologis
tersebut, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kekuatan otot.
Posisi
pasien berada di depan cermin dan posisi terapis berada di samping pasien.Pertama-tama
terapis memberikan contoh gerakan-gerakan yang harus dilakukan oleh pasien
kemudian pasien diminta untuk menirukan gerakan-gerakan tersebut, terapis
memperhatikan dan mengoreksi apabila ada gerakan yang keliru.
Gerakan
yang diberikan seperti: mengangkat alis, mengerutkan dahi, mendekatkan kedua
alis ke arah medial,tersenyum, bersiul, dan turunkan mulut ke bawah. Terapi
dilakukan 8x pengulangan setiap gerakannya.
Indikasi rasa tebal wajah , kelemhan dan penurunn
kekuatan otot wajah, gangguan fungsi motori wajah, gangguan ekspresi , gangguan
fungsional wajah.
Kontraindikasi tidak dianjurkan pasien dengan tekanan darah tinggi, bila pasien
merasakan fatique yang sangat berat
hentikan latihan.
4.
Re-assessment
re-assessment
yang dilakukan selama terapi berlangsung adalah untuk mengamati apakah terapi
yang kita berikan sesuai yang kita tuju dan bagaimanakah respon dari pasien.
Jangan mempertahankan interverensi yang
nyata-nyata tidak efektif. Evaluasi terhadap hasil perlu dilakukan pada beberapa
titik, misalnya setelah terapi berakhir, setelah satu paket terapi selesai,
evaluasi ketercapaian tujuan, evaluasi dari kelambatan pada kemajuan pasien
lain-lain.
Kesimpulan yang didapat dari evaluasi ini untuk
mengetahui apakah dalam menentukan problem
list dan contributing factor
tidak tepat, apakah terapi tidak efektif, apakah memang tidak mungkin melakukan
perubahan terhadap impairment dan merubah fokus atau tujuan terapi kearah
kompensasi dan lain-lain. Atau pasien sudah puas terhadap kemajuan aktivitas
fungsionalnya walaupun impairmentnya
masih tetap ada.
Pentingnya evaluasi fisioterapi seharusnya juga
dipertimbangkan sebagai bahan masukan dari team rehabilitasi/medis di rumah
sakit untuk menentukan seseorang pasien sudah/belum diperbolehkan meninggalkan
rumah sakit (discharge planning) dan
dalam menentukan tindakan fisioterapi berikutnya (follow up), terutama bagi pasien dengan impairment dan activity limitation yang kronik
BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Pembuatan Laporan : 21 Juni 2016
Kondisi : FT.
C
A. DATA PASIEN
1.
NAMA : Tn.S
2.
UMUR : 56 tahun
3.
JENIS KELAMIN : Laki-laki
4.
AGAMA : Islam
5.
PEKERJAAN : Pedagang
6.
ALAMAT :Wagen, polanharjo,Delanggu Klaten Tengah
7.
No. CM : 186335
B. PEMERIKSAAN
1.
Pemeriksaan Subjektif
a.
Keluhan Utama
1)
Pasien merasakan adanya rasa tebal pada wajah
sebelah kanan,
2)
Pasien merasakan adanya kelemahan otot wajah
sebelah kanan,
3)
Pasien merasakan mata sebelah kanan tidak mampu
menutup rapat,
4)
Pasien belum mampu mengangkat alis sebelah kanan
5)
Mulut pasien mencong kesisi kiri
b.
Riwayat Penyakit Sekarang
Tanggal 7 juni 2016 saat pasien menyingkat gigi, gigi gerahan atas
sebelah kanan lepas kemudian 3 hari kemudian pasien merasakan wajah kanan
mengalami tabal dan alis kanan tidak
mampu diangkat. Pada tanggal 10 juni 2016 pasien berobat ke dokter umum, dan
dirujuk kedokter saraf di RSU PKU MUHAMDIYYAH DELANGGU pada tanggal 14 juni.
Tanggal 21 juni 2016 kontrol ke 2 di dokter saraf pasien dirujuk untuk
melakukan tindakan fisioterapi tiga kali seminggu.
1) Lingkungan kerja : pasien berprofesi sebagai pedagang
untuk mencukupi kebutuhannya
2)
Aktivitas rekreasi : pasien jarang melakukan
rekreasi
3)
Aktivitas diwaktu senggang : menonton tv
4)
Aktivitas sosial : mengikuti pengajian
c.
Riwayat Keluarga
Tidak
ada anggota keluarga pasien yang mengalami sakit yang sama dengan pasien
d.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengakui adanya riwayat hipertensi dan diabetes militus
2.
Pemeriksaan Obyektif
a.
Pemeriksaan vital sign.
1)
Tekanan darah :
150/80 mmHg
2)
Denyut nadi :
85 kali/menit
3)
Pernafasan :
24 kali/menit
4)
Temperature :36,5º C
5)
Tinggi badan :
160 cm
6)
Berat badan :
65 kg
a. Inspeksi
1)
Statis
a)
Tampak bibir pasien merot ke kiri
b)
Tampak mata pasien kemerah merahan dan sedikit berair
2)
Dinamis
a)
Terlihat pasien tidak mampu menggangkat alis kanan,
tidak mampu menutup dan mengedipkan mata kanan dan tidak mampu mencucu atau
bersiul.
b)
Terlihat penurunan otot wajah saat diajak
berkomunikasi.
b.
Palpasi
1)
Terasa sisi wajah sebelah kanan lebih kaku dibandingkan
sisi wajah kiri
2)
Tidak terdapat peningkatan suhu wajah kanan dan kiri
3)
Tidak ada spasme otot wajah
4)
Tidak ada nyeri saat ditekan
c.
Perkusi
Tidak dilakukan karena pasien tidak ada keluahan dan riwayat penyakit kardiovaskuler dan kardiorespirasi.
d.
Auskultasi
Tidak dilakukan karena pasien tidak ada keluahan dan riwayat penyakit kardiovaskuler dan kardiorespirasi.
e.
Pemeriksaan Gerak Dasar
1)
Gerak aktif dilakukan dengan kesimpulan pasien belum
mampu mengangkat alis bagian kanan, pasien belum mampu menutup mata kanan,
pasien belum sempurna mengerakkan mulut sebelah kanan, pasien belum mampu
bersiul, pasien belum mampu mengerakkan kedua alis ke medial serta belum mampu
mengembang kempiskan cuping hidung.
2)
Gerak pasif dalam hal ini tidak dilakukan .
f.
Muscle Test
Muscle test
dilakukan pada otot-otot wajah dengan menggunakan Scala Daniels & Worthingham’s Muscle Testing dengan hasil 3
C. DIAGNOSA FISIOTERAPI
1.
Impairment
1) Pasien merasakan
adanya rasa tebal pada wajah sebelah kanan,
2) Pasien
merasakan adanya kelemahan otot wajah sebelah kanan,
3) Pasien
merasakan mata sebelah kanan tidak mampu menutup rapat.
4) Pasien
belum mampu mengangkat alis sebelah kanan
5) Mulut
pasien mencong kesisi kiri
2.
Functional
limitation
a.
Adanya gangguan ekspresi pada wajah
b.
Makanan cenderung mengumpulkan di sisi kanan
c.
Berkumur dan minum tumpah pada sisi kanan
3.
Disability/
Participation Restriction
Adanya
penurunan rasa percaya diri saat bersosialisasi dilingkungan masyarakat karena
adanya gangguan ekspresi wajah.
D. RENCANA EVALUASI
1.
Kekuatan otot dengan MMT
2.
Fungsi motori otot-otot wajah dengan skala ugo fisch.
E. LAPORAN TINDAKAN
1.
Peningkatan fungsi motoris otot- otot wajah dengan faradisasi.
2.
Peningkatan kekuatan otot wajah menggunakan manual
terapi.
BAB IV
PEMBAHASAN
Menurut catatan rekam
medis Pasien bernama Tn S berusia 56 tahun dengan alamat di Wangen,
Pulonharjo, Klaten.
Tanggal 7 juni 2016 saat pasien menyingkat gigi, gigi gerahan atas sebelah
kanan lepas kemudian 3 hari kemudian pasien merasakan wajah kanan mengalami
tabal dan alis kanan tidak mampu
diangkat. Pada tanggal 10 juni 2016 pasien berobat ke dokter umum, dan dirujuk
kedokter saraf di RSU PKU MUHAMDIYYAH DELANGGU pada tanggal 14 juni. Tanggal 21
juni 2016 kontrol ke 2 di dokter saraf pasien dirujuk untuk melakukan tindakan
fisioterapi tiga kali seminggu.
Pasien mendapatkan perawatan dengan medika mentosa dan intervensi
fisioterapi. Pada hari pertama terapi, intervensi
fisioterapi untuk menjaga fisiologis dari fungsi otot-otot tubuh yang
mengalami kelemahan.
Penatalaksanaan
fisioterapi :
Intervensi fisioterapi
yang diberikan pada kasus ini adalah lebih pada peningkatan kekuatan otot- otot
wajah, penurunan rasa tebal pada wajah.
Selama pemberian intervensi fisioterapi pada terapi pertama tidak
harus selalu dengan pemberian modalitas alat, melainkan bisa juga dengan metode
massage wajah.
1.
Terapi ke-I (21Juni 2016)
a. Penggunaan
Infra Red general
Pada penggunaan IR bertujuan untuk mengurangi nyeri.
Dosis : 15 menit
Jarak : 30 – 45 cm
b. Faradisasi
Pada penggunaan faradisasi
bertujuan untuk menstimulasi otot agar mendidik kerja otot. Dengan dosis terapi
30 × kontraksi pada setiap masing – masing motor point.
2.
Terapi ke-II (23 Juni 2016)
- Penggunaan Infra Red general
Pada penggunaan IR bertujuan untuk mengurangi nyeri.
Dosis :15 menit
Jarak : 30 – 45 cm
- Faradisasi
Pada penggunaan faradisasi
bertujuan untuk menstimulasi otot agar mendidik kerja otot. Dengan dosis 30 ×
kontraksi pada setiap masing – masing motor point.
- Massage wajah
Pada pengguaan massage
wajah bertujuan untuk merangsang reseptor sensorik. Dengan dosis pengulangan 3x
setiap teknik massagenya
3. Terapi
ke-III (25 Juni 2016)
- Penggunaan
Infra Red general
Pada penggunaan IR bertujuan untuk mengurangi nyeri.
Dosis :15 menit
Jarak : 30 – 45 cm
- Faradisasi
Pada penggunaan faradisasi bertujuan
untuk menstimulasi otot agar mendidik kerja otot. Dengan dosis 30 × kontraksi
pada setiap masing – masing motor point.
- Terapi
latihan
Pada pemberian terapi latihan adalah mirror exercise bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot. Dengan
dosis pengulangan 8x setiap gerakan.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tn S
berusia 56 tahun setelah
diberikan terapi dan latihan sebanyak 3 kali terapi maka hasil yang didapat
setelah terapi adalah sebagai berikut:
1. Terjadi sedikit peningkatan kekuatan otot
pada sebagian besar otot-otot wajah pada sisi yang mengalami kelemahan.
2. Terjadi peningkatan fungsi motoris pada
otot-otot wajah.
B.
Saran
- Sebaiknya
tim rehabilitasi saling bekerja sama untuk mencapai tujuan baik jangka
panjang maupun jangka pendek.
- Mengajarkan
keluarga tentang hal-hal yang diperlukan untuk mendukung kesuksesan terapi
dan memberikan informasi tentang keadaan pasien saat ini dan memberikan
pengetahuan tentang hal-hal yang harus dan tidak boleh dilakukan kepada
pasien.
- Untuk
fisioterapi
Diharapkan fisioterapi untuk
lebih mengetahui betul dan memahami tentang kasus “Bell’s
palsy” sebelum memberikan tindakan terapi agar terapi yang dilakukan dapat
memberikan dampak perbaikan yang signifikan.
C.
Edukasi
1. Pasien disarankan untuk kompres air hangat
setiap pagi dan sore hari selama 15 menit pada daerah wajah.
2. Pasien disarankan untuk tidak tidur
dilantai, saat tidur menggunakan penutup mata dan jangan menggunakan kipas
angin secara langsung menerpa wajah.
3. Pasien disarankan untuk melindungi mata
dari terpaan debu dan angin secara langsung untuk menghindari terjadinya iritasi dan tidak lupa menggunakan
kacamata jika hendak keluar rumah.
4. Pasien disarankan untuk mengulangi
gerakan-gerakan didepan cermin (mirror
excercise) sesering mungkin.
5. Pasien disarankan untuk menggunakan helm full rice jika hendak berkendara motor
dengan kaca tertutup serta memakai slayer atau masker.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto G dkk. 2009. Diagnosis dan tata laksana penyakit
saraf. Jakarta : kedokteran EGC.
Ginsberg L.
2008. Neurologi. Jakarta: Erlangga.
Lumbantobing. 2012. Nervus fasial dalam neurologi
klinik pemeriksaan fisik dan mental. Edisi ke-12. Jakarta : FK universitas
Indonesia.
Putz, R and R.
Pabst; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, EGC Jakarta: 2002 .
Wikipedia. 2012. Bell’s
palsy. Diakses: pada tanggal 11 Mei 2012, dari