Sabtu, 30 Juli 2016

Makalah Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Bell's Palsy Dekstra di RSU PKU Muhammadiyah Delanggu

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
               Kecantikan dan ketampanan adalah idaman setiap manusia. Karena dengan kecantikan dan ketampanan dapat meningkatkan rasa percaya diri. Banyak usaha untuk mencapai hal itu, misalnya dengan cara perawatan, facial, dan operasi plastik. Walau harus mengeluarkan uang yang cukup banyak mereka tidak masalah yang penting bisa mempercantik atau mempertampan diri. Akhir-akhir  ini banyak orang terkena penyakit bell’s palsy. Bell’s palsy  adalah sebuah kelainan dan ganguan neurologi pada nervus cranialis VII (saraf facialis) di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Paralyse Bell ini hampir selalu terjadi unilateral, namun demikian dalam jarak satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh, yang menyebabkaan kelemahan atau paralisis, ketidaksimetrisan kekuatan/aktivitas muscular pada kedua sisi wajah (kanan dan kiri), serta distorsi wajah yang khas. Hal ini sangat menyiksa diri karena membuat orang menjadi kurang percaya diri. Wajah kelihatan tidak cantik karena  mulut mencong, mata tidak bisa berkedip, mata berair.
               Kata Bell’s Palsy itu sendiri diambil dari nama seorang dokter dari abad 19, Sir Charles Bell, orang pertama yang menjelaskan kondisi ini dan menghubungkan dengan kelainan pada saraf wajah.
               Prevalensi Bell’s Palsy di Indonesia, secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari empat Rumah Sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s Palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21–50 tahun, peluang untuk terjadinya pada wanita dan pria sama. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terkena udara dingin atau angin berlebihan

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah dalam laporan ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengaruh infrared terhadap proses penurunan rasa tebal diwajah?
2.  Bagaimana pengaruh electrical stimulation faradisasi terhadap peningkatan kekutan otot wajah?
3.      Adakah pengaruh latihan mirror exercise terhadap peningkatan fungsi motoris otot wajah?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengaruh infrared terhadap proses penurunan rasa tebal diwajah.
2.   Untuk mengetahui pengaruh electrical stimulation faradisasi terhadap peningkatan kekutan otot wajah.
3.   Untuk mengetahui pengaruh electrical stimulation faradisasi terhadap peningkatan kekutan otot wajah
  


BAB II
KAJIAN TEORI

  1. Deskripsi Teoritis
1. Definisi Bell’s Palsy
Bell’s Palsy adalah paralisis wajah akut akibat inflamasi dari nervus fasialis (Saputra, 2009). Gangguan ini merupakan paralisis fasialis lower motor neuron (LMN) unilateral idiopatik (Ginsberg, 2008). Bell’s Palsy biasanya terjadi secara mendadak. Penderita setelah bangun pagi mendapati salah satu sisi wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti kesemutan di sekitar bibir atau mata kering biasanya cepat menjadi berat dalam waktu 48 jam atau kurang (Dewanto, dkk, 2009).
2. Anatomi Fungsional
a.       Otot-otot wajah
Gambar 1. Otot- otot wajah 
b.      Nervus Facialis
Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius wisberg. Ada pakar yang menganggap sebagai saraf terpisah, namun pada umumnya saraf intermedius ini di anggap sebagai bagian dari saraf fasialis. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf facialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah di hantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi eksteroseptif mempunyai badan sel nya di ganglion genikulatum dan berakhir pada desendens dan inti akar desendens dari saraf trigeminus (nV). Hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
            3. Etiologi
a. Teori Ischemia Vaskuler
Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan sirkulasi darah ke saraf fasialis. Kondisi Lingkungan dingin, sering terkena angin malam, terpapar kipas angin dan AC, diperkirakan membuat pembuluh darah ke saraf fasialis tersebut menyempit atau vasospasme. Penyempitan itu mengakibatkan iskemia atau berkurangnya suplai oksigen, sehingga terjadi kelumpuhan.
b. Teori Infeksi Virus
Beberapa ahli menyatakan penyebab Bell’s palsy berupa virus herpes yang membuat saraf menjadi bengkak akibat infeksi (Wikipedia, 2012).
 c. Teori Herediter
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy bisa disebabkan karena keturunan, dimana kelainannya berupa kanalis fasialis yang sempit dan system enzim.
4. Patologi
Para ahli menyebutkan bahwa Bell’s palsy terjadinya di akibatkan dari proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi.
5. Tanda dan Gejala Klinis
Pada pasien Bell’s palsy, tanda dan gejala klinisnya yang timbul pada sisi wajah ipsilateral seperti kelemahan otot wajah, kerutan dahi mengilang ipsilateral, tampak seperti orang letih, tidak mampu atau sulit mengedipkan mata, hidung terasa kaku, sulit bicara, sulit makan dan minum, sensitif terhadap suara (hiperakusis, salivasi yang berlebihan atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilanganya rasa kecap, nyeri didalam atau disekitar telinga, dan air liur sering keluar. Adapun gejala pada mata ipsilateral yaitu: sulit atau tidak mampu menutup mata ipsilateral, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya (Dewanto, dkk, 2009).
6. Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi pada Bell’s palsy, antara lain:
a.  Sindroma air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)
Sindroma air mata buaya merupakan gejala tersebut pertama timbul karena konyungtiva bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu.
b. Synkenesis (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan satu persatu atau tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot obicularis oris pun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila disuruh mengembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat (Lumbantobing, 2012).
c. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic fasialis. Akan tetapi, tidak semua tic fasialis merupakan gejala sisa dari bell’s palsy (Lumbantobing, 2012).
  1. Proses fisioterapi
1.      Assessment
Assessment merupakan komponen penting dalam segala manajemen penatalaksanaan fisioterapi, termasuk dalam kasus bell’s palsy. Pemeriksaan ini menjadi begitu penting karena sedikitnya ada 3 alasan pokok, yaitu:
a.       Dapat mengidentifikasi masalah pasien yang akan diinterverensi oleh fisioterapis, dengan kata lain menegakan diagnosis fisioterapi.
b.      Dapat mengidentifikasi perubahan yang terjadi pada pasien dari waktu ke waktu.
1)      Memberikan motivasi kepada pasien
2)      Memberikan informasi tentang efektivitas terapi yang berguna untuk menentukan manajemen penatalaksanaan fisioterapi selanjutnya.
c.       Dapat dipakai sebagai alat ukur untuk menetukan biaya atau efesiensi terapi.
Dapat memilih salah satu alat ukur, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :
1)      Anamnesis
a)      Data diri
(1)   Nama
(2)   Umur
(3)   Jenis kelamin
(4)   Agama
(5)   Pekerjaan
(6)   Alamat
(7)   No. CM
b)      Data data medis Rumah sakit
(1)   Diagnosis medis
(2)   Catatan klinis
(3)   Medika mentosa
(4)   Hasil lab
(5)   Foto rontgen
2)      Pemeriksaan Subjektif
a)      Keluhan utama pasien
Adalah keluhan yang dirasakan oleh pasien mengenai penyakit tersebut, meliputi :
(1)   Lokasi keluhan
(2)   Penyebab
(3)   Faktor-faktor yang memperberat atau memperingan
(4)   Irritabilitas dan derajat
b)      Riwayat penyakit sekarang
Adalah proses perjalanan penyakit dari awal hingga saat ini, proses pengobatan yang telah dilakukan.
c)      Status sosial
Status sosial adalah interaksi sosial pasien dengan lingkungannya, meliputi :
(1)   Lingkunga kerja
(2)   Lingkungan tempat tinggal
(3)   Aktivitas rekreasi di waktu senggang
(4)   Aktivitas sosial
d)     Riwayat keluarga
Adalah riwayat keluarga pasien mengidap penyakit serupa dengan pasien.
e)      Riwayat penyakit dahulu
Adalah riwayat penyakit pasien sebelumnya yang membuat resiko mengidap penyakit sekarang yang diderita.
3)      Pemeriksaan objektif
a)      Pemeriksaan vital sign
Pemeriksaan ini berfungsi sebagai acuan tanda-tanda penting dalam tubuh.
(1)   Tekanan darah
(2)   Denyut nadi
(3)   Pernafasan
(4)   Temperatur
(5)   Tinggi badan
(6)   Berat badan
b)      Inspeksi
Adalah pemeriksaan meneliti pasien dengan indra penglihatan, bisa disaat pasien statis maupun dinamis.
c)      Palpasi
Adalah pemeriksaan pasien dengan cara meraba atau menyetuh pasien dengan indra peraba, meliputi :
(1)   Pitting Oedema
(2)   Spasme
(3)   Suhu lokal
d)     Pemeriksaan mmt
Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui kekuatan otot dengan tujuan membantu menegakan diagnose, dengan menggunakan Scala Daniels & Worthingham’s Muscle Testing.

Nilai
Keterangan
0
Zero, tidak ada kontraksi
1
Trace, kontraksi minimal
3
Fair, ada kontraksi dilakukan dengan susah payah
5
Normal, ada kontraksi dan terkontrol

No
Nama Otot
Fungsi
1
m. frontalis
Mengerutkan dahi dan mengangkat alis
2
m.corugator supercili
Mengerakkan kedua alis mata kemedial, sehingga terbentuk benturan vertical diantara kedua alis
3
m.Proceus
Mengangkat tepi lateral cuping, hidung, sehingga berbentuk kerutan diagonal sepanjang pangkal hidung
4
m. orbicularisoculi
Menutup mata
5
m. nasalis
Mengembang kempiskan cuping hidung
6
m.depressorangguli orris
Menarik ujung mulut kebawah
7
m.zygomatikum mayor
Tersenyum
8
m.zygomatikum minor
Tersenyum
9
m. obicularis oris
Gerakan bersiul atau mencucu
10
m. buncinator
Merapatkan bibir dengan pipi dikempiskan seperti mengunyah
11
m. mentalis
Menarik ke atas ujung dagu
12
m. risorius
Menarik sedut bibir kelateral dan menbentuk lesung pipi

2.      Penetapan Diagnose
Saat ini penanganan fisioterapi lebih menekankan kepada pasien. Salah satu metode yang popular untuk mengkategorikan problem pasien dengan gangguan neurologi adalaha klasifikasi dari WHO. Klasifikasi ini mulai dikembangkan pada tahun 1980-an dipakai secara luas di dunia sebagai kesamaan istilah yang dipakai dalam dunia klinis, pengumpulan data dan penelitian.
a.       Impairtment
Merupakan hilangnya atau tidak normalnya aspek psikologis, fisiologis, struktur anatomis ataupun fungsi. Contohnya adalah kelemahan, gangguan ekspresi.
b.      Activity limitation
Merupakan kesulitan pasien melangsungkan suatu aktivitas dengan cara atau dengan dikategorikan dalam batas normal. Biasanya dalam membicarakan activity limitation ini focus ada dalam hal fungsi atau aktivitas fungsional. Contoh adalah ketidakmampuan menutup mata,megerutkan dahi,tersenyum dan bersiul.
c.       Participation restriction
Merupakan problem yang lebih kompleks yang melibatkan lingkungan pasien, baik lingkungan fisik, non fisik. Biasanya fisioterapi tidak sampai sejauh ini dalam menegakkan problematika/diagnose fisioterapi.
Pada pembuatan kasus neurologi, sesuai dengan keterangan-keterangan diatas, maka yang dituliskan sebagai list of problem adalah gangguan fungsional pasien sedangkan gangguan impairment menjadi faktor yang menyebabkan. Berdasarkan seluruh permasalahan yang ada, maka selanjutnya dibuatlah prioritas masalah yang dimaksudkan untuk mengarahkan dan memprioritaskan rencana dan interverensi fisioterapi.

3.      Intervensi Fisioterapi
Pemilihan teknologi interverensi yang digunakan hendaknya didasari oleh informasi tentang efektivitas dari terapi tersebut. Yang bisa didapat dari teori yang valid. Terbukti efektif dalam clinical trial, atau terbukti efektif dalam penelitian. Dalam pemberiannya harus disertai dengan teknik dan ketrampilan dari fisioterapinya setinggi mungkin.
a.   Infra Red
Adalah radiasi elektromagnetik dari panjang gelombang lebih panjang dari cahaya tampak tetapi lebih pendek dari radiasi gelombang radio. Panjang gelombang 700 nm dan 1 mm.
Pada kasus ini IR meningkatkan sirkulasi mikro. Bergetarnya molekul air dan pengaruh inframerah akan menghasilkan panas yang menyebabkan pembuluh kapiler membesar, dan meningkatkan temperature kulit memperbaiki sirkulasi darah dan dapat mengurangi nyeri yang dirasakan.
Indikasi Infra Red kondisi sub akut kontusio (memar),muscule strain, sprain,sinovitis,rheumatoidartitis,osteoartitis,myalgia,lbp,neuralgia,neururitis,gangguan srirkulasi darah (toa,thomboplebitisraynold’s disqase)
Kontraindikasi Infra Red daerah dengan insufiensi pada darah, gangguan sensibilitas kulit, adanya kecenderungan terjadinya pendarahan.
Pemakaian Infra Red dengan dosis :  15 menit Jarak : 30 – 45 cm.
b.   Faradisasi
Adalah arus listrik bolak balik yang tidak simetris yang mempunyai durasi 0,01-1 ms dengan frekuensi 50-100 cy/det.
Pada kasus ini faradisasi dapat menstimulasi saraf sensorik, apabila dialirkan kedalam tubuh timbul perasaan tetusuk-tusuk halus, mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah superficial sehingga kulit nampak kemerah-merahan. Dan pada stimulasi motorik apabila intensitas cukup besar akan menimbulkan kontraksi otot yang dipersyarafi oleh saraf yang di stimulasi, yang berfrekuensi 50 cycle/detik.
Indikasi dari faradisasi adalah keluhan nyeri, hyper tonic atau spastic, kelumpuhan atau kelemahan otot-otot perifer, gangguan vegetative, kondisi neuropaksia.
Kontra indikasi penyaki arteri, pembentukan thrombus, infeksi akut, gangguan sensibilitas pada daerah yang akan diobati, ada luka terbuka pada daerah yang akan diobati,
Pemakaian faradisasi dengan dosis 30× kontraksi pada setiap masing-masing motor point.
c.  Massage
Massage diberikan pada wajah yang lesi. Sebelumnya tuangkan media pelicin ditangan terapis. Usapkan pada wajah pasien dengan gerakan stroking menggunakan seluruh permukaan tangan dengan arah gerakannya tidak tentu. Lakukan gerakan efflurage secara gentle, arah gerakan dari dagu kearah pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga. Dilanjutkan dengan finger kneading dengan jari-jari dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke seluruh otot wajah yang terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan tengah dahi menuju ke telinga. Kemudian lakukan tapping dengan jari-jari dari tengah dahi menuju ke arah telinga, dari dekat mata menuju ke arah telinga, dari hidung ke arah telinga, dari sudut bibir ke arah telinga dan dari dagu menuju kearah telinga. Khusus pada bibir, lakukan stretching kearah yang lesi.
Indikasi dari massage yaitu headaches(sakit kepala), neck stiffnes, carpal tunnel syndrome, upper and mid back pain, whiplash injuries atau neck pain, sciatica, TMJ dysfunction dan pain, arm and hand pain, leg and foot pain.
Kontra indikasi massage therapy keadaan patologis yang dapat menyebar lewat aliran darah atu limpre, daerah mengalami pendarahan, radang acut, gangguan sirkulasi sistem, gangguan sensasibilitas dan AIDS
Dengan dosis pengulangan 3x pada setiap teknik gerakan massagenya.
d. Terapi latihan
Pada kondisi bell’s palsy, latihan yang dilakukan adalah mirror exercise (didepan cermin) yang akan memberikan biofeedback, yang dimaksud dengan biofeedback adalah mekanisme kontrol suatu sistem biologis dengan memasukan kembali keluaran yang dihasilkan dari system biologis tersebut, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kekuatan otot.
Posisi pasien berada di depan cermin dan posisi terapis berada di samping pasien.Pertama-tama terapis memberikan contoh gerakan-gerakan yang harus dilakukan oleh pasien kemudian pasien diminta untuk menirukan gerakan-gerakan tersebut, terapis memperhatikan dan mengoreksi apabila ada gerakan yang keliru.
Gerakan yang diberikan seperti: mengangkat alis, mengerutkan dahi, mendekatkan kedua alis ke arah medial,tersenyum, bersiul, dan turunkan mulut ke bawah. Terapi dilakukan 8x pengulangan setiap gerakannya.       
Indikasi rasa tebal wajah , kelemhan dan penurunn kekuatan otot wajah, gangguan fungsi motori wajah, gangguan ekspresi , gangguan fungsional wajah.
Kontraindikasi tidak dianjurkan pasien  dengan tekanan darah tinggi, bila pasien merasakan fatique yang sangat berat hentikan latihan.

4.      Re-assessment
re-assessment yang dilakukan selama terapi berlangsung adalah untuk mengamati apakah terapi yang kita berikan sesuai yang kita tuju dan bagaimanakah respon dari pasien. Jangan mempertahankan interverensi yang nyata-nyata tidak efektif. Evaluasi terhadap hasil perlu dilakukan pada beberapa titik, misalnya setelah terapi berakhir, setelah satu paket terapi selesai, evaluasi ketercapaian tujuan, evaluasi dari kelambatan pada kemajuan pasien lain-lain.
Kesimpulan yang didapat dari evaluasi ini untuk mengetahui apakah dalam menentukan problem list dan contributing factor tidak tepat, apakah terapi tidak efektif, apakah memang tidak mungkin melakukan perubahan terhadap impairment dan merubah fokus atau tujuan terapi kearah kompensasi dan lain-lain. Atau pasien sudah puas terhadap kemajuan aktivitas fungsionalnya walaupun impairmentnya masih tetap ada.
Pentingnya evaluasi fisioterapi seharusnya juga dipertimbangkan sebagai bahan masukan dari team rehabilitasi/medis di rumah sakit untuk menentukan seseorang pasien sudah/belum diperbolehkan meninggalkan rumah sakit (discharge planning) dan dalam menentukan tindakan fisioterapi berikutnya (follow up), terutama bagi pasien dengan impairment dan activity limitation yang kronik

BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal Pembuatan Laporan : 21 Juni 2016
Kondisi : FT. C

A.    DATA PASIEN
1.      NAMA : Tn.S
2.      UMUR : 56 tahun
3.      JENIS KELAMIN : Laki-laki
4.      AGAMA : Islam
5.      PEKERJAAN : Pedagang
6.      ALAMAT :Wagen, polanharjo,Delanggu Klaten Tengah
7.      No. CM : 186335

B.     PEMERIKSAAN
1.      Pemeriksaan Subjektif
a.    Keluhan Utama
1)      Pasien merasakan adanya rasa tebal pada wajah sebelah kanan,
2)      Pasien merasakan adanya kelemahan otot wajah sebelah kanan,
3)      Pasien merasakan mata sebelah kanan tidak mampu menutup rapat,
4)      Pasien belum mampu mengangkat alis sebelah kanan
5)      Mulut pasien mencong kesisi kiri
b.   Riwayat Penyakit Sekarang
Tanggal 7 juni 2016 saat pasien menyingkat gigi, gigi gerahan atas sebelah kanan lepas kemudian 3 hari kemudian pasien merasakan wajah kanan mengalami tabal dan alis  kanan tidak mampu diangkat. Pada tanggal 10 juni 2016 pasien berobat ke dokter umum, dan dirujuk kedokter saraf di RSU PKU MUHAMDIYYAH DELANGGU pada tanggal 14 juni. Tanggal 21 juni 2016 kontrol ke 2 di dokter saraf pasien dirujuk untuk melakukan tindakan fisioterapi tiga kali seminggu.
1)     Lingkungan kerja : pasien berprofesi sebagai pedagang untuk mencukupi kebutuhannya
2)      Aktivitas rekreasi : pasien jarang melakukan rekreasi
3)      Aktivitas diwaktu senggang : menonton tv
4)      Aktivitas sosial : mengikuti pengajian
c.       Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami sakit yang sama dengan pasien
d.      Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengakui adanya riwayat hipertensi dan diabetes militus

2.      Pemeriksaan Obyektif
a.       Pemeriksaan vital sign.
1)      Tekanan darah  : 150/80 mmHg
2)      Denyut nadi      : 85 kali/menit
3)      Pernafasan        : 24 kali/menit
4)      Temperature     :36,5º C
5)      Tinggi badan     : 160 cm
6)      Berat badan      : 65 kg
a. Inspeksi
1)      Statis
a)      Tampak bibir pasien merot ke kiri
b)      Tampak mata pasien kemerah merahan dan sedikit berair
2)      Dinamis
a)      Terlihat pasien tidak mampu menggangkat alis kanan, tidak mampu menutup dan mengedipkan mata kanan dan tidak mampu mencucu atau bersiul.
b)      Terlihat penurunan otot wajah saat diajak berkomunikasi.
b.      Palpasi
1)      Terasa sisi wajah sebelah kanan lebih kaku dibandingkan sisi wajah kiri
2)      Tidak terdapat peningkatan suhu wajah kanan dan kiri
3)      Tidak ada spasme otot wajah
4)      Tidak ada nyeri saat ditekan
c.       Perkusi
Tidak dilakukan karena pasien tidak ada keluahan dan riwayat penyakit kardiovaskuler dan kardiorespirasi.
d.      Auskultasi
Tidak dilakukan karena pasien tidak ada keluahan dan riwayat penyakit kardiovaskuler dan kardiorespirasi.
e.       Pemeriksaan Gerak Dasar
1)      Gerak aktif dilakukan dengan kesimpulan pasien belum mampu mengangkat alis bagian kanan, pasien belum mampu menutup mata kanan, pasien belum sempurna mengerakkan mulut sebelah kanan, pasien belum mampu bersiul, pasien belum mampu mengerakkan kedua alis ke medial serta belum mampu mengembang kempiskan cuping hidung.
2)      Gerak pasif dalam hal ini tidak dilakukan .
f.        Muscle Test
Muscle test dilakukan pada otot-otot wajah dengan menggunakan Scala Daniels & Worthingham’s Muscle Testing dengan hasil 3

C.    DIAGNOSA FISIOTERAPI
1.      Impairment
1)      Pasien merasakan adanya rasa tebal pada wajah sebelah kanan,
2)      Pasien merasakan adanya kelemahan otot wajah sebelah kanan,
3)      Pasien merasakan mata sebelah kanan tidak mampu menutup rapat.
4)      Pasien belum mampu mengangkat alis sebelah kanan
5)      Mulut pasien mencong kesisi kiri
2.      Functional limitation
a.       Adanya gangguan ekspresi pada wajah
b.      Makanan cenderung mengumpulkan di sisi kanan
c.       Berkumur dan minum tumpah pada sisi kanan
3.      Disability/ Participation Restriction
Adanya penurunan rasa percaya diri saat bersosialisasi dilingkungan masyarakat karena adanya gangguan ekspresi wajah.
D.    RENCANA EVALUASI
1.      Kekuatan otot dengan MMT
2.      Fungsi motori otot-otot wajah dengan skala ugo fisch.

E.     LAPORAN TINDAKAN
1.      Peningkatan fungsi motoris otot- otot wajah dengan faradisasi.
2.      Peningkatan kekuatan otot wajah menggunakan manual terapi.

BAB IV
PEMBAHASAN

Menurut catatan rekam medis Pasien bernama Tn S berusia 56 tahun dengan alamat di Wangen, Pulonharjo, Klaten. Tanggal 7 juni 2016 saat pasien menyingkat gigi, gigi gerahan atas sebelah kanan lepas kemudian 3 hari kemudian pasien merasakan wajah kanan mengalami tabal dan alis  kanan tidak mampu diangkat. Pada tanggal 10 juni 2016 pasien berobat ke dokter umum, dan dirujuk kedokter saraf di RSU PKU MUHAMDIYYAH DELANGGU pada tanggal 14 juni. Tanggal 21 juni 2016 kontrol ke 2 di dokter saraf pasien dirujuk untuk melakukan tindakan fisioterapi tiga kali seminggu.
Pasien mendapatkan perawatan dengan medika mentosa dan intervensi fisioterapi. Pada hari pertama terapi, intervensi fisioterapi untuk menjaga fisiologis dari fungsi otot-otot tubuh yang mengalami kelemahan.

Penatalaksanaan fisioterapi :
Intervensi fisioterapi yang diberikan pada kasus ini adalah lebih pada peningkatan kekuatan otot- otot wajah, penurunan rasa tebal pada wajah.
Selama pemberian intervensi fisioterapi pada terapi pertama tidak harus selalu dengan pemberian modalitas alat, melainkan bisa juga dengan metode massage wajah.

1.      Terapi ke-I (21Juni 2016)
a.    Penggunaan Infra Red general
Pada penggunaan IR bertujuan untuk mengurangi nyeri.
Dosis : 15 menit
Jarak : 30 – 45 cm
b.   Faradisasi
Pada penggunaan faradisasi bertujuan untuk menstimulasi otot agar mendidik kerja otot. Dengan dosis terapi 30 × kontraksi pada setiap masing – masing motor point.
2.      Terapi ke-II (23 Juni 2016)
  1. Penggunaan Infra Red general
Pada penggunaan IR bertujuan untuk mengurangi nyeri.
Dosis :15 menit
Jarak : 30 – 45 cm
  1. Faradisasi
Pada penggunaan faradisasi bertujuan untuk menstimulasi otot agar mendidik kerja otot. Dengan dosis 30 × kontraksi pada setiap masing – masing motor point.
  1. Massage wajah
Pada pengguaan massage wajah bertujuan untuk merangsang reseptor sensorik. Dengan dosis pengulangan 3x setiap teknik massagenya
3. Terapi ke-III (25 Juni 2016)
  1. Penggunaan Infra Red general
Pada penggunaan IR bertujuan untuk mengurangi nyeri.
Dosis :15 menit
Jarak : 30 – 45 cm
  1. Faradisasi
Pada penggunaan faradisasi bertujuan untuk menstimulasi otot agar mendidik kerja otot. Dengan dosis 30 × kontraksi pada setiap masing – masing motor point.
  1. Terapi latihan
Pada pemberian terapi latihan adalah mirror exercise bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot. Dengan dosis pengulangan 8x setiap gerakan.
  

BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tn S berusia 56 tahun setelah diberikan terapi dan latihan sebanyak 3 kali terapi maka hasil yang didapat setelah terapi adalah sebagai berikut:
1.     Terjadi sedikit peningkatan kekuatan otot pada sebagian besar otot-otot wajah pada sisi yang mengalami kelemahan.
2.     Terjadi peningkatan fungsi motoris pada otot-otot wajah.
B.     Saran
  1. Sebaiknya tim rehabilitasi saling bekerja sama untuk mencapai tujuan baik jangka panjang maupun jangka pendek.
  2. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang diperlukan untuk mendukung kesuksesan terapi dan memberikan informasi tentang keadaan pasien saat ini dan memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang harus dan tidak boleh dilakukan kepada pasien.
  3. Untuk fisioterapi
Diharapkan fisioterapi untuk lebih mengetahui betul dan memahami tentang kasus Bell’s palsy” sebelum memberikan tindakan terapi agar terapi yang dilakukan dapat memberikan dampak perbaikan yang signifikan.

C.    Edukasi
1.      Pasien disarankan untuk kompres air hangat setiap pagi dan sore hari selama 15 menit pada daerah wajah.
2.      Pasien disarankan untuk tidak tidur dilantai, saat tidur menggunakan penutup mata dan jangan menggunakan kipas angin secara langsung menerpa wajah.
3.      Pasien disarankan untuk melindungi mata dari terpaan debu dan angin secara langsung untuk menghindari  terjadinya iritasi dan tidak lupa menggunakan kacamata jika hendak keluar rumah.
4.  Pasien disarankan untuk mengulangi gerakan-gerakan didepan cermin (mirror excercise) sesering mungkin.
5.    Pasien disarankan untuk menggunakan helm full rice jika hendak berkendara motor dengan kaca tertutup serta memakai slayer atau masker.


DAFTAR PUSTAKA

Dewanto G dkk. 2009. Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta : kedokteran EGC.
Ginsberg L. 2008. Neurologi. Jakarta: Erlangga.
Lumbantobing. 2012. Nervus fasial dalam neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Edisi ke-12. Jakarta : FK universitas Indonesia.
Putz, R and R. Pabst; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, EGC Jakarta: 2002 .
Wikipedia. 2012. Bell’s palsy. Diakses: pada tanggal 11 Mei 2012, dari


Selasa, 31 Mei 2016

Pengertian analisis Univariate, Bivariate dan Multivariate, Mata Kuliah Biostatistik

PENGERTIAN ANALISIS UNIVARIATE,BIVARIATE,DAN MULTIVARIATE

Penelitian analisis univariate adalah analisa yang dilakukan menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian (Notoadmodjo, 2005 : 188). Analisa univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna. peringkasan tersebut dapat berupa ukuran statistik, tabel, grafik. Analisa univariat dilakukan masing–masing variabel yang diteliti.
Analisis Bivariate adalah analisis secara simultan dari dua variabel. Hal ini biasanya dilakukan untuk melihat apakah satu variabel, seperti jenis kelamin, adalah terkait dengan variabel lain, mungkin sikap terhadap pria maupun wanita kesetaraan. Analisis bivariate terdiri atas metode-metode statistik inferensial yang digunakan untuk menganalisis data dua variabel penelitian. Penelitian terhadap dua variabel biasanya mempunyai tujuan untuk mendiskripsikan distribusi data, meguji perbedaan dan mengukur hubungan antara dua variabel yang diteliti.
Analisis Bivariate yaitu hipotesis yang diuji biasanya kelompok yang berbeda dalam ciri khas tertentu dengan koefisien kontigensi yang diberi simbol C.Analisis bivariat menggunakan tabel silang untuk menyoroti dan menganalisis perbedaan atau hubungan antara dua variabel. Menguji ada tidaknya perbedaan/hubungan antara variabel kondisi pemukian, umur, agama, status migrasi, pendidikan, penghasilan, umur pekkawinan pertama, status kerja dan kematian bayi/balita dengan persepsi nilai anak digunakan analisis chi square, denagn tingkat kemaknaan a=0,05. Hasil yang diperoleh pada analisis chi square, dengan menggunakan program SPSS yaitu nilai p, kemudian dibandingkan dengan a=0,05. Apabila nilai p< dari a=0,05 maka ada hubungan atau perbedaan antara dua variabel tersebut. (Agung, 1993).
Statistika multivariate merupakan objek kajian pada statistika yang mempelajari perilaku dan hubungan antara dua atau lebih variabel. Dasar dari kajian ini adalah analisis korelasi dan analisis regresi untuk dua variabel. Prinsip yang sama kemudian dikembangkan untuk lebih dari dua variabel. Kompleksitas yang muncul akibat penambahan variabel dan tipenya (nominal, ordinal, atau rasional), serta teknik penyaringan informasi yang bisa diambil menjadi kajian pembahasannya.


Minggu, 29 Mei 2016

teknik massage pada area abdominal /perut, fisioterapi integument

TEKNIK MASSAGE PADA AREA PERUT/ABDOMINAL 

1. ligth stroking effluerage


2. petrissage


3. effluerage


4. criss-cross

teknik massage pada area punggung, fisioterapi integument

TEKNIK MASSAGE PADA AREA PUNGGUNG


Stroking untuk meratakan media (minyak zaitun) pada area punggung arah gerakan bebas.






hacking 



do poing effluerage


thumb effluerage


petrissage

Rabu, 18 Mei 2016

Definisi batu saluran kemih dan faktor resiko terjadinya batu ginjal

BATU SALURAN KEMIH

     Batu saluran kemih asaat ini merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi. Penyakit ini sebenarnya bisa diminimalkan resiko terjadinya. Batu saluran kemih ini dapat terbentuk dari berbagai macam zat yang mengalami saturasi berlebihan disaluran kemih dan akibatnya mengendap dan menghalangi aliran air seni yang harusnya dikeluarkan oleh ginjal.
     sebelumnya kita kenali dahulu mengenai struktur saluran kemih. Saluran kemih atas terdiri dari 2 buah ginjal, 2 buah ureter, 1 buah kandung kemih dan uretra. Ginjal berfungsi untuk menyeimbangkan cairan dan keasaman darah dalam tubuh, serta mengeluarkan zat toksin dan yang tidak diperlukan oleh tubuh dengan cara memproduksi urine (air seni). Urine akan dialirkan melalui ureter ke kandung kemih, urine akan ditampung di kandung kemih lalu dikeluarkan melalui uretra saat kita berkemih.

     Apabila terdapat sumbatan pada saluran kemih tersebut, aliran urine akan terhambat, apabila sumbatan tersebut sudah total, zat yang seharusnya dibuang itu dapat mengalami aliran balik ke ginjal yang akibatnya justru merusak ginjal. Sumbatan ini dapat disebabkan salah satunya karena adanya batu saluran kemih. Batu saluran kemih bisa terletak di ginjal, ureter, kandung kemih, maupun uretra.

APA SAJA YANG DAPAT MENJADI FAKTOR RISIKO TERBENTUKNYA BATU GINJAL?

1. Usia dan Jenis kelamin
     Batu saluran kemih banyak terjadi pada usia 20-40 tahun dan risiko laki- laki 3X lebih besar dari wanita. Ini dipengaruhi oleh hormone testoteron yang dimiliki lako-laki yang menyebabkan peningkatan produksi oksalat oleh hati, jika oksalat mngendap di saluran kemih, dapat menyebabkan terbentuknya saluran kemih.

2. Profesi
     batu saluran kemih banyak ditemukan pada orang yang pekerjaannya lebih banyak duduk. Aktivitas fisik dapat membantu aliran urine sehingga mengurangi rsisiko terjadinya pengendapan di saluran kemih.

3. Mentalitas
     Stres juga dapat meningkatkan risioko terjadinya batu ginjal. Stres bersifat menurunkan kekebalan tubuh, dan menjadi faktor risiko terjadinya berbagai macam penyakit.

4. Nutrisi
     Terjadinya batu ginjal lebih rendah pada vegetarian, dan kebanyakan terjadi pada orang yang banyak mengkonsumsi lemak, makanan yang mengandung asam urat seperti : emping melinjo, kubis, Asupan garam yang tinggi juga berisiko membentuk batu ginjal.

5. Kurang minum
     Kurangnya cairan yag kita minum menyebabkan urine menjadi lebih pekat, sehingga lebih mudah terbentuk endapan yang akan menjadi baru saluran kemih.

6. Infeksi saluran kemih
     Adanya infeksi saluran kemih menyebabkan aliran urine menjadi terganggu dan memudahkan terbentuknya batu saluran kemih.

 7. Etnis
     Batu saluran kemi ternyata lebih banyak terjadi pada orang asia dan orang kulit putih.

8. Riwayat Keluarga
     Adanya riwayat keluarga yang menglalami batu saluran kemih juga memungkinkan anaknya mengalami batu saluran kemih akibat adanya kerentanan yang serupa pada saluran kemih.