Selasa, 16 April 2019


Apa yang dimaksud dengan Neurorestorasi?
Cabang ilmu neurologi yang mempergunakan prosedur aktif untuk memperbaiki sistem saraf yang rusak baik secara fungsional maupun patologik dengan cara memodifikasi secara selektif struktur dan fungsi kontrol saraf (World Congress of Neurology Hamburg 1985 – Masland – Dimitrijevic)
Restorative neurology is defines as the branch of neurological sciences which applies active procedures to improve functions of the impaired nervous system through selective structural or functional modification of abnormal neuron control  according to underlying mechanisms and clinically unrecognized residual functions. (Hamburg, 1985).
Neurorestorasi pasca stroke dicapai dengan meningkatnya neurogenesis, angiogenesis, dan oligodendrogenesis, yang merupakan peningkatan perbaikan saraf (Chen et al., 2014). Lingkup neurorestorasi meliputi neurofisiologi terapan, neurobiologi klinis dan fungsional neurologi.
Kata-kata yang berkaitan dengan Neurorestorasi
1. Plasticity
Adalah kemampuan semua sel untuk mengubah banyak aspek dari phenotype pada beberapa tingkatan respon terhadap perubahan abnormal pada lingkungannya.
2.  Neuropasticity
Adalah konsep yang berdasarkan pada kemampuan Central Nervous System (CNS) untuk beradaptasi, membangun kembali dan mengorganisasi kembali dirinya dalam dua hal yaitu bentuk molekul dan fungsi.
Assesment Fisioterapi
Mencakup:
            - Observasi
}  Keselarasan dari key point (alignment of key point)
}  Awal gerakan (initiation of movement)
}  Keseimbangan (balance)
}  Tonus postural (postural tone)
}  Reaksi asosiasi (associated reaction)
}  Kompensasi (compensation)
            - Feeling
}  Tonus (tone)
}  Respon terhadap kontak dan handling (response to contact and handling)
}  Reaksi yang ditimbulkan dengan merasakan melalui gerakan (reaction to being moved)
            - Analisis
}  Mengapa pasien melakukan gerakan seperti itu?
            contoh: hemiplegic gait à mengapa?
}  Apakah terjadi kompensasi?
}  dll.
            - Hipotesis
Terdiri dari:
Daftar identifikasi masalah (list of problem)
            - Treatment
}  Set postur (postural set)
}  Key point of control
}  Tentukan tujuan hari/ saat ini
}  Berkesinambungan & berkelanjutan
Fisioterapi pada stroke akut
Program Fisioterapi meliputi:
}  Restorasi I (hari I-II):
             latihan di tempat tidur
}  Restorasi II (hari III-V):
            latihan keluar dari tempat tidur
}  Restorasi III (hari VI-VII):
            latihan di luar tempat tidur, meliputi:
                                    - duduk di kursi
                                    - belajar berdiri
                                    - belajar berjalan
Program fisioterapi
Restorasi I (hari I-II): Latihan di Tempat Tidur
}  Posisi berbaring, elevasi 150- 300
}  Pembentukan posisi yang baik:
            - Posisi antirotasi
            - Terlentang
            - Miring ke arah sakit
P1010078
            - Miring ke arah sehat
P1010034
}  Body awareness
}  Vestribular exercise
}  Aktivasi core stability, postural control
}  Persiapan gerakan tidur ke duduk
}  Restorasi II (hari III-V): Latihan ke Luar Tempat Tidur
}  Latihan Restorasi I dilakukan
}  Body awareness pada posisi duduk
}  Core stability exercise,postural control
DSC01159DSC01160
}  Latihan keseimbangan duduk
}  Latihan duduk ke berdiri
}  Latihan berdiri & keseimbangan berdiri
}  Latihan aktivitas sehari-hari dalam posisi duduk
Persiapan Restorasi III
}  Restorasi III (hari VI-VII): Latihan di luar tempat tidur
}  Restorasi I & II dilakukan
}  Latihan keseimbangan berdiri & melangkah
}  Latihan jalan
}  Latihan aktivitas sehari-hari dalam posisi berdiri
}  Persiapan pulang
}  Edukasi pasien (termasuk masukan arsitektural ruangan)
}  Home Programe
Fase stroke
}  Stroke Sub Akut: Lebih dari 3 minggu- 3 bulan
            - Home Care
            - Rawat jalan/ klinik
}  Stroke Kronik: Lebih dari 3 bulan
            - Home Care
            - Rawat jalan/ klinik
            - bila disabilitas atau handicap à rehabilitasi medik
Parameter keberhasilan
}  Penilaian dengan Speed Walk
}  Penilaian dengan Barthel Scale
}  Penilaian dengan Skala Indeks Motorik
}  Penilaian dengan Nine Hole Pack Test (NHPT)
}  Muscle strength on the hemiplegic side    Motricity Index (MI)
}  Trunk activity    ᷉ Trunk Control Test (TCT)
}  Balance    ᷉ Berg Balance Scale (BBS)
}  Walking speed    ᷉ 10 Meter Walk Test (10MWT)
}  Walking ability   ᷉ Functional Ambulatory Categories (FAC)
}  Dexterity   ᷉ Frenchay Arm Test (FAT)
}  Basic ADL activities    ᷉ Barthel Index (BI)

SUMBER MATERI :
1. Kuliah Umum Profesi Fisioterapi Poltekkes Kemenkes Surakarta, Narasumber : Wayan Gede Suardika, STrFtr “Mobilisasi Dini Pada Pasien Stroke” tahun 2018.
2. NEURORESTORASI PASIEN PASCA STROKE FASE POST AKUT : Pendekatan Konsep PNF (Proprioceptive Neuromuscular Facilitation), Narasumber Dr. Umi Budi Rahayu, SSt. FT., Ftr. MKes Disampaikan dalam Seminar dan Miniworkshop Stikes ‘Aisyiyah Surakarta 07 April 2019.




Sabtu, 03 Maret 2018

PELAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS POST ORIF CF SHAFT RADIUS ULNA DENGAN MODALITAS INFRA RED DAN LATIHAN DI RSO SURAKARTA


BAB  I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Fraktur adalah suatu patahan pada hubungan kontinuitas struktur tulang (Appley dan Solomon, 1995). Fraktur dapat terjadi pada semua bagian tubuh salah satunya adalah fraktur radius ulna 1/3 medial yaitu suatu patahan yang mengenai 1/3 bagian tengah tulang radius dan ulna.
Klasifikasi fraktur ada dua jenis yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup adalah apabila kulit di atasnya masih utuh. Fraktur terbuka adalah fraktur kalau kulit atau salah satu dari rongga tubuh tertembus yang cenderung akan mengalami kontaminasi dan infeksi (Appley dan Solomon, 1995).
Prinsip menangani fraktur meliputi: (1) reduksi yaitu memperbaiki posisi fragmen yang terdiri dari reduksi tertutup (tanpa operasi) dan reduksi terbuka (dengan operasi), (2) mempertahankan reduksi (immobilisasi) yaitu tindakan untuk mencegah pergeseran dengan traksi terus-menerus, pembebatan dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi internal dan fiksasi eksternal.
Fisioterapi dalam mengatasi problematik di atas dapat menggunakan salah satu modalitas fisioterapi yaitu terapi latihan. Terapi latihan adalah salah satu usaha penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Terapi latihan yang diberikan menurut Kisner dan Colby (1996) antara lain:
  1. Static contraction yaitu untuk mengurangi oedem dan nyeri pasca operasi.
  2. Passive exercise untuk memelihara luas gerak sendi lutut ke arah fleksi.
  3. Active exercise untuk memelihara luas gerak sendi lutut ke arah fleksi dan meningkatkan kekuatan otot biceps dan triceps.
  4. Hold relax untuk mengurangi nyeri dan meningkatlan luas gerak sendi lutut ke arah fleksi. Terapi latihan tersebut ditambah dengan latihan jalan untuk memperbaiki aktifitas fungsional berpakaian atau toiletting.

  1. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apakah pemberian modalitas elevasi dan Terapi Latihan dapat mengurangi nyeri pada penderita post ORIF CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra ?
2.      Apakah pemberian modalitas Terapi Latihan dapat meningkatkan LGS pada penderita post ORIF CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra?
3.      Apakah pemberian modalitas Terapi Latihan dapat meningkatkan kemampuan fungsional pada penderita post ORIF CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra?
C.    Tujuan penulisan
Tujuan umum :
Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari, mengidentifikasi masalah-masalah, menganalisa dan mengambil kesimpulan tentang kasus post ORIF CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra.
Tujuan khusus :
Untuk mengetahui pelaksanaan fisioterapi yang tepat pada kasus post ORIF CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra.
D.    Manfaat penulisan
1.      Bagi penulis
Dapat lebih mengenal tentang post ORIF CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra sehingga dapat menjadi bekal bagi penulis.
2.      Fisioterapi
Untuk dapat memberikan wawasan bagi fisioterapi akan memberikan intervensi yang sama efektif dan efesien. Makalah ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi fisioterapis dalam menangani kasus post ORIF CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra.
3.      Bagi pasien dan masyarakat
Dapat memberikan informasi yang benar kepada pasien, keluarga, masyarakat sehingga dapat lebih mengenal dan mengetahui gambaran tentang post ORIF CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fraktur Antebrachii

1.  Definisi Fraktur

Fraktur radius-ulna tertutup adalah terputusnya hubungan tulang radius dan ulna yang disebabkan oleh cedera pada lengan bawah, baik trauma langsung maupun trauma tidak langsung (Helmi, 2013). Menurut Hoppenfeld (2011) fraktur kedua tulang bawah merupakan cedera yang tidak stabil. Fraktur nondislokasi jarang terjadi. Stabilitas fraktur yang bergantung pada jumlah energi yang diserap selama cedera dan gaya otot-otot besar yang cenderung menggeser fragmen.

2.      Anatomi Antebrachii a. Tulang ulna

Menurut Hartanto (2013) ulna adalah tulang stabilisator pada lengan bawah, terletak medial dan merupakan tulang yang lebih panjang dari dua tulang lengan bawah. Ulna adalah tulang medial antebrachium. Ujung proksimal ulna besar dan disebut olecranon, struktur ini membentuk tonjolan siku. Corpus ulna mengecil dari atas ke bawah.

































Gambar 2.1 Anatomi os Ulna (Putz & Pabst, 2007)

b.  Tulang Radius

Radius terletak di lateral dan merupakan tulang yang lebih pendek dari dari dua tulang di lengan bawah. Ujung proksimalnya meliputi caput pendek, collum, dan tuberositas yang menghadap ke medial.

Corpus radii, berbeda dengan ulna, secara bertahap membesar saat ke distal. Ujung distal radius berbentuk sisi empat ketika dipotong


melintang. Processus styloideus radii lebih besar daripada processus

styloideus ulnae dan memanjang jauh ke distal. Hubungan tersebut

memiliki kepentingan klinis ketika ulna dan/atau radius mengalami

fraktur (Hartanto, 2013).









































Gambar 2.2 Anatomi os Radius (Putz & Pabst, 2007).


c.   Sistem Otot

Tabel 2.1 Sistem otot lengan bawah (Snell, 2012)

Fungsi
Otot
Origo
Insersio
Nerve
Action
Flexors
m.  biceps
Caput

Bagian
Musculocut
Flexi

brachii
longum:

posterior
aneus
(C5,
shoulder


tuberositas
tuberositas
C6)

dan


supraglenoida
radius


elbow,


lis





supinasi


Caput  brevis:




forearm


processus







coracoideus






m.
Setengah
Processus
Musculocut
Flexi

brachialis
bawah

coronoideus
aneus
(C5,
elbow


permukaan
dan

C6),
radial



depan
dari
tuberositas
nerve (C7)



humerus,
ulna






intermuscular







septum







m.
Di   atas
2/3
Sisi
lateral
Radial

Flexi

brachiora
lateral

dari
radius
nerve
(C5,
elbow

dialis
supracondylus
di
atas
C6)




humerus,
processus





lateral

styloideus





intermuscular







septum







m.
Caput

Pertengahan
Median
Pronasi

pronator
humerus:
dari

nerve
(C6,
forearm,

teres
epicondylus
permukaan
C7)

flexi


medialis

lateral



elbow


humeri

radius





Caput








ulnaris:








processus







coronoideus





Extensors
m.  triceps
Long
head:
Permukaan
Radial

Extensi

brachii
infraglenoid
atas

nerve
(C6-
elbow




tubercle

olecranon
C8)

dan


scapula





shoulder

m.
Permukaan
Permukaan
Radial

Extensi

anconeus
belakang

lateral

nerve
(C6-
elbow


epicondylus
olecranon,
C8)




lateral

sepermpat





humerus

atas








permukaan







belakang







ulna




Pronators
m.
Caput

Pertengahan
Median

Pronasi

pronator
humerus:
dari

nerve
(C6,
forearm,

teres
epicondylus
permukaan
C7)

flexi


medialis

lateral



elbow


humeri

radius






Caput








ulnaris:








processus







coronoideus






m.
Bagian bawah
Bagian

Median

Pronasi

pronator
dari

bawah
dari
nerve
(C7,
forearm

quadratus
permukaan
permukaan
C8)




depan ulna
depan








radius




Supinators
m.
Epycondylus
Facies

Posterior
Supinasi

supinator
lateralis

anterior
interosseous
forearm


humeri,
lig
radii

nerve
(C6,



colaterale
(proximal
C7)




radiale
dan
dan
distal





anulare
radii,
dari






crista musculi
tuberositas





supinatori
radii)






ulna







m.  biceps
Caput

Bagian

Musculocut
Flexi

brachii
longum:

posterior
aneus
(C5,
shoulder


tuberositas
tuberositas
C6)

dan


supraglenoida
radius



elbow,


lis





supinasi


Caput  brevis:




forearm


processus







coracoideus





















































Gambar 2.3 Otot lengan tampak anterior (Paulsen, 2010)












































Gambar 2.4 Otot lengan tampak posterior (Paulsen, 2010)


3.  Etiologi Fraktur

Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, saat tekanan yang diberikan pada tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu ditanggungnya. Jumlah gaya pasti yang diperlukan untuk menimbulkan suatu


fraktur dapat bervariasi, sebagian bergantung pada karakteristik tulang itu sendiri. Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung, seperti saat sebuah benda bergerak menghantam suatu area tubuh di atas tulang.

Menurut Nampira (2014) fraktur batang radius dan ulna biasanya terjadi karena cedera langsung pada lengan bawah, kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dengan lengan teregang. Fraktur radius dan ulna biasanya merupakan akibat cedera hebat. Cedera langsung biasanya menyebabkan fraktur transversa pada tinggi yang sama, biasanya di sepertiga tengah tulang (Hartanto, 2013).
4.  Patofisiologi Fraktur

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Rosyidi, 2013).

Terdapat beberapa faktor yang bisa menentukan lama penyembuhan fraktur. Penyembuhan fraktur berkisaran antara tiga minggu sampai empat bulan. Waktu penyembuhan pada anak secara kasar separuh waktu penyembuhan daripada dewasa.


Tabel 2.2 Faktor-faktor penyembuhan fraktur


(Helmi, 2013)
Faktor

Deskripsi
Umur penderita

Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih


cepat   daripada   orang   dewasa.   Hal   ini   terutama






disebabkan  karena  aktivitas  proses  osteogenesis  pada



periosteum  dan  endosteum,  serta  proses  remodeling



tulang. Pada bayi proses penyembuhan sangat cepat dan



aktif, namun kemampuan ini makin berkurang apabila



umur bertambah.
Lokalisasi

dan
Lokalisasi  fraktur  memegang  peran  penting.  Fraktur
konfigurasi

metafisis penyembuhannya lebih cepat daripada diafisis.
fraktur


Di  samping  itu  konfigurasi  fraktur  seperti  fraktur



transversal lebih lambat penyembuhannya dibandingkan



dengan fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak.
Pergeseran
awal
Pada fraktur yang tidak bergeser di mana periosteum
fraktur


tidak bergeser, maka penyembuhan dua kali lebih cepat



dibandingkan pada fraktur yang bergeser.
Vaskularisasi
Apabila kedua fragmen mempunya vaskularisasi yang
pada

kedua
baik,  maka  penyembuhan  biasanya  tanpa  komplikasi.
fragmen


Namun, apabila salah satu sisi fraktur vaskularisasinya



buruk, maka akan menghambat atau bahkan tidak terjadi



tautan yang dikenal dengan non-union.
Reduksi

serta
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk
mobilisasi


vaskularisasi  yang  lebih  baik  dalam  bentuk  asalnya.



Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan



dan kerusakan pembuluh darah yang akan mengganggu



dalam penyembuhan fraktur.
Waktu


Jika   imobilisasi   tidak   dilakukan   sesuai   waktu
imobilisasi

penyembuhan  sebelum  terjadi  tautan  (union),  maka



kemungkinan terjadinya non-union sangat besar.
Ruangan

di
Jika   ditemukan   interposisi   jaringan   baik   berupa
antara

kedua
periosteum maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya,
fragmen

serta
maka  akan  menghambat  vaskularisasi  kedua  ujung
interposisi
oleh
fraktur.
jaringan lunak

Factor
adanya
Infeksi  dan  keganasan  akan  memperpanjang  proses
infeksi

dan
inflamasi   lokal   yang   akan   menghambat   proses
keganasan lokal
penyembuhan dari fraktur.
Cairan sinovia
Pada  persendian,  di  mana  terdapat  cairan  synovial,



merupakan hambatan dalam penyembuhan fraktur.
Gerakan

aktif
Gerakan  aktif  dan  pasif  pada  anggota  gerak  akan
dan

pasif
meningkatkan vaskularisasi darah fraktur, tetapi gerakan
anggota gerak
yang dilakukan pada daerah  fraktur  tanpa imobilisasi



yang baik juga akan mengganggu vaskularisasi.
Nutrisi


Asupan nutrisi yang optimal dapat memberikan suplai



kebutuhan protein untuk proses perbaikan. Pertumbuhan







tulang menjadi lebih dinamis bila ditunjang dengan asupan nutrisi yang optimal.

Vitamin D Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormone paratiroid yang tinggi. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit akan membantu kalsifikasi tulang (membantu kerja hormone paratiroid), antara lain dengan meningkatakan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.

Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang yaitu: (1) Fase

1: inflamasi, (2) Fase 2: proliferasi sel, (3) Fase 3: pembentukan dan

penulangan  kalus  (osifikasi),  (4)  Fase  4:  remodeling  menjadi  tulang

dewasa.

1)  Inflamasi

Respons  tubuh  pada  saat  mengalami  fraktur  sama  dengan  respons

apabila ada cedera di bagian tubuh lain. Terjadi perdarahan pada jaringan

yang  cedera  dan  pembentukan  hematoma  pada  lokasi  fraktur.  Ujung

fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah.

Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih

besar) yang akan membersihkan daerah tersebut dari zat asing. Pada saat

ini    terjadi  inflamasi,  pembengkakan,  dan  nyeri.  Tahap  inflamasi

berlangsung     beberapa   hari   dan   hilang   dengan   berkurangnya

pembengkakan dan nyeri.


2)  Proliferasi sel

Dalam sekitar lima hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan untuk revaskularisasi, serta invasi fibroblast dan osteoblast.

Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endostel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Namun, gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif.

3)  Pembentukan kalus

Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan serat tulang imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.


Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai tiga minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu tiga sampai empat bulan.

4)  Remodeling

Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun bergantung pada beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan stres fungsional pada tulang (pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak, khusunya pada titik kontak langsung. Ketika remodeling telah sempurna, muatan permukaan pada tulang tidak lagi negatif. Proses penyembuhan tulang dapat dipantau dengan pemeriksaan sinar X. Imobilisasi harus memadai sampai tanda-tanda adanya kalus tampak pada gambaran sinar X.

5.  Metode penanganan fraktur antebrachii dengan internal fiksasi

Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasangan fiksasi interna menimbulkan masalah risiko tinggi infeksi pasca bedah, nyeri akibat trauma jaringan lunak, risiko tinggi trauma sekunder akibat pemasangan fiksasi.


eksterna, risiko kontraktur sendi siku akibat cara mobilisasi yang salah, dampak psikologis ansietas sekunder akibat rencana bedah dan prognosis penyakit serta pemenuhan informasi (Muttaqin, 2013).

Pelat kompresi adalah pelat logam tipis, persegi, dengan permukaan lengkung yang sesuai dengan kelengkungan tulang dan dilekatkan dengan sekrup sedemikian sehingga menciptakan kompresi pada tempat fraktur. Hal tersebut memungkinkan reduksi dan fiksasi anatomi fraktur. Pelat ini merupakan alat stress-shielding karena daerah fraktur di bawah akan terbebas dari pembebanan. Seiring waktu, kondisi tulang di bawah pelat akan menipis karena terbebaskan pemebebanan dan suplai darah yang berkurang. Pelat kompresi paling sering digunakan pada ekstremitas atas, terutama radius ulna.

Penyembuhan tulang secara primer terjadi akibat rigiditas fiksasi, kompresi pada tempat fraktur, dan reduksi anatomis. Karena penyembuhan tulang secara primer merupakan suatu proses yang lambat maka fiksasi pelat kompresi memerlukan waktu tanpa penanggungan beban yang lebih lama (3 bulan) untuk mencegah kegagalan.

6.      Komplikasi

a.  Komplikasi Awal

1)     Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan tidak adanya nadi, CRT (capillary refil time) menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan


oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

2)  Kompartment Sindrom

Kompartment sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda sindrom kompartemen (5P) sebagai berikut: (1) Pain (nyeri lokal), (2)

Pallor (pucat bagian distal), (3) Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak baik dan CRT>3 detik pada bagian distal kaki), (4) Paraestesia (tidak ada sensasi), (5) Paralysis

(kelumpuhan tungkai).

3)  Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hipertensi, tachypnea, demam.


4)  Infeksi

Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma osthopedic infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan sperti pin dan plat.

5)  Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman Ischemia (Helmi, 2013).

b.     Komplikasi Dalam Waktu Lama

1)     Delayed Union

Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung) sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk menyambung.

2)  Nonunion

Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.

3)  Malunion

Malunion merupakan penyembuhan tulang di tandai dengan perubahan bentuk (deformitas).


B.    Problematika Fisioterapi 1. Impairment

a.  Nyeri

Menurut Parjoto (2006) nyeri adalah rasa yang tidak menyenangkan dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial dan terkadang nyeri digunakan untuk menyatakan adanya kerusakan jaringan. Penyebab nyeri dapat disebabkan oleh karena adanya rangsangan mekanisme, kimiawi dan fisik yang menimbulkan kerusakan pada suatu sistem jaringan.

b.  Keterbatasan Lingkup Gerak Sendi

Keterbatasan lingkup gerak sendi merupakan suatu keadaan dimana sendi tidak dapat digerakkan secara penuh. Permasalahan ini disebabkan karena adanya nyeri sehingga menyebabkan pasien takut atau tidak ingin bergerak dan beraktivitas.

c.   Penurunan Kekuatan Otot

Penurunan kekuatan otot terjadi jika dalam waktu yang lama dan terjadi karena otot tidak digunakan secara maksimal. Maka sering disebut disuse atrophy, masalah tersebut perlu dilakukan penanganan dengan cepat berupa latihan-latihan gerak sehingga memungkinkan terjadinya masalah tersebut kecil.


2.  Functional Limitation

Pada functional limitation terdapat adanya keterbatasan aktivitas fungsional seperti (1) Pasien kesulitan dalam dressing, (2) Pasien kesulitan dalam aktifitas feeding, dan (3) Pasien kesulitan ketika bathing.

3.  Disability

Disability merupakan ketidakmampuan pasien dalam melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan disekitarnya yaitu pasien kesulitan mengikuti kegiatan pengajian rutin yang mengharuskan pasien mengendarai motor menuju ke tempat pengajian tersebut.

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

1.  Terapi Latihan

Tujuan utama program latihan adalah mengembalikan fungsi, kinerja, kekuatan otot, dan daya tahan ke tingkat sebelum terjadinya trauma. Atrofi otot dan hilangnya kekuatan otot karena tidak dipergunakan berkisar antara 5% per hari sampai 8% per minggu (Kuncara, 2011).

a.  Active Exercise

Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan sendi melalui gerakan penuh atau parsial yang ada sesuai keinginannya sendiri. Tujuan latihan kisaran gerak aktif adalah menghindari kehilangan ruang gerak yang ada pada sendi. Latihan ini diindikasikan pada fase awal penyembuhan tulang, saat tidak ada atau sedikitnya stabilitas pada tempat fraktur. Umpan balik sensorik langsung pada pasien dapat membantu mencegah gerakan yang


dapat menimbulkan nyeri atau mempengaruhi stabilitas tempat fraktur (Kuncara, 2011).

b.  Active assisted (Gerak aktif dengan bantuan)

Pada latihan ini, pasien dilatih menggunakan kontraksi ototnya sendiri untuk menggerakkan sendi, sedangkan professional yang melatih, memberikan bantuan atau tambahan tenaga. Latihan ini paling sering digunakan pada keadaan kelemahan atau inhibisi gerak akibat nyeri atau rasa takut, atau untuk meningkatkan kisaran gerak yang ada. Pada latihan ini dibutuhkan stabilitas pada tempat fraktur, misalnya bila sudah ada penyembuhan tulang atau sudah dipasang fiksasi fraktur. (Kuncara, 2011).

c.  Resisted Exercise

Latihan penguatan meningkatkan kemampuan dari otot. Latihan ini meningkatkan koordinasi unit motor yang menginervasi suatu otot serta keseimbangan antara kelompok otot yang bekerja pada suatu sendi. Latohan penguatan bertujuan untuk meningkatkan tegangan potensial yng dapat dihasilkan oleh elemen kontraksi dan statis suatu unit otot-tendon. Latihan penguatan ada berbagai macam (Kuncara, 2011).

d.  Hold Relax

Hold rilex adalah suatu latihan yang menggunakan otot secara isometric kelompok antagonis dan diikuti relaksasi otot tersebut. Dengan kontraksi isometric kemudian otot menjadi rileks sehingga gerakan kearah agonis lebih mudah dilakukan dan dapat mengulur secara optimal.


Mekanisme kontraksi isometric pada penguluran otot ini karena sarcomere otot yang semula memendek akan dapat memanjang kembali dan berakibat pada kembalinya fungsi otot secara normal kemudian diikuti dengan relaksasi grup otot antagonis, mobilitas menjadi baik, nyeri berkurang. Maka pasien akan lebih mudah untuk menggerakkan sendi yang semula terbatas.

Menurut Adler (2008) tujuan dari latihan hold-rilex ini adalah mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS). Indikasi dilakukannya latihan hold-rilex ini adalah pasien yang mengalami penurunan lingkup gerak sendi (LGS), dan merasakan nyeri, serta kontra indikasinya dalah apabila pasien tidak dapat melakukan kontraksi isometrik.

Latihan dilakukan dengan cara pasien atau terapis menggerakkan sendi siku kearah flexi hingga batas nyeri pasien, lalu pasien diminta mengkontraksikan kelompok antagonis tersebut tanpa terjadi gerakan atau kontraksi isometrik, kontraksi dipertahankan selama 5-8 detik, kemudian hitungan ke-8 pasien rilek, tunggu sampai pasien benar-benar rilek kemudian terapis melakukan penguluran ke arah pola agonis, penguatan pola gerak agonis dengan cara menambah lingkup gerak sendi (LGS) pasien. Gerakan ini diulang sampai 6-8 kali (Adler, 2008).






BAB III
LAPORAN KASUS
Tanggal Pembuatan Laporan  :  10 Nopember 2017
I.              KETERANGAN UMUM PENDERITA
Nama                 : Sdr. W
Umur                 : 15 Tahun
Jenis Kelamin    : Laki-laki
Agama               : Islam
Pekerjaan           : Pelajar
Alamat               : Juwiring - Klaten
No. RM             : 311344
II.           DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT
A.    DIAGNOSIS MEDIS
CF Shaft Radius Ulna 1/3 Medial Sinistra
B.     CATATAN KLINIS :
(Diagnosa medis, catatan klinis, medika mentosa, hasil lab, foto rontgen, TORCH, tes darah dan urin, MRI, Ct-Scan, Eeg, dll)
Ada
III.        SEGI FISIOTERAPI
TANGGAL : 7  Nopember 2017
A.    PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
B.     ANAMNESIS (AUTO)
1.      Deskripsi pasien dan Keluhan Utama :
pada tanggal 8/11/2017 pasien jatuh saat melakukan sparing tapak suci dengan posisi jatuh melinting ke arah kiri dan tangan kiri menahan tubuh, dan langsung dibawa ke IGD RSO dan dilakukan opname di ruang parangkusumo dan dilakukan tindakan operasi pada tanggal 9/11/2017.
2. Data Medis Pasien
Medika mentosa : Ada
Ø  Meloxicam
Ø  Cefadroxil
Ø  Kalk
C.    PEMERIKSAAN
1.      PEMERIKSAAN FISIK
1.1.     TANDA-TANDA VITAL
a.       Tekanan darah               : 114/90 mmhg
b.      Denyut nadi                   : 97 x/menit
c.       Pernapasan                     : 18 x/menit
d.      Temperature                   : 36 C
e.       Tinggi badan                  : 173 cm
f.       Berat badan                   : 52 kg
1.2.     INSPEKSI (STATIS & DINAMIS)
-          Pasien tidur terlentang  diatas bed.
-          Tampak terpasang infus pada tangan kanan.
-          Pada area lengan bawah kiri terpasang elastis bandage.
-          Saat posisi duduk tampak bahu sinistra protaksi
-          Pasien belum mampu menggerakan elbow dan wrist sinistra secara full ROM.
1.3.     PALPASI
-          Teraba adanya spasme pada M. biceps dan triceps sinistra.
-          Teraba oedema pada 1/3 radius ulna medial sampai wrist sinistra
-          Adanya nyeri tekan pada 1/3 radius ulna medial  sinistra
-          Terdapat perbedaan suhu pada lengan bawah kiri lebih hangat dibandingkan sebelah kanan.
1.4.     GERAKAN DASAR :
a. Gerak Aktif :
Gerakan
Full ROM
Nyeri
Fleksi
-
+
Ekstensi
+
+
Supinasi
-
+
Pronasi
-
+
Dorsi fleksi
-
+
Palmar fleksi
-
+
Radial deviasi
-
+
Ulnar deviasi
-
+

b.   Gerak pasif :
Gerakan
Full ROM
Nyeri
End feel
Fleksi
+
+
Firm
Ekstensi
+
+
Hard
Supinasi
-
+
Springy
Pronasi
-
+
Springy
Dorsi fleksi
-
+
Firm
Palmar fleksi
-
+
Firm
Radial deviasi
-
+
Firm
Ulnar deviasi
-
+
Firm

c.    Gerak isometric melawan tahanan :
Gerakan
Nyeri
Kontraksi
Fleksi
-
Minimal
Ekstensi
-
Minimal
Supinasi
-
Belum mampu
Pronasi
-
Belum mampu
Dorsi fleksi
-
Belum mampu
Palmar fleksi
-
Belum mampu
Radial deviasi
-
Belum mampu
Ulnar deviasi
-
Belum mampu

1.5.     Muscle Test dan Antropometri
Muscle Test
No
Group otot
Nilai
1
Fleksor
3
2
Ekstensor
3
3
Supinator
3
4
Pronator
3
5
Dorsi fleksor
3
6
Palmar fleksor
3
7
Radial deviator
3
8
Ulnar deviator
3

1.6.     KEMAMPUAN FUNGSIONAL
Dengan DASH SCORE




NO
MILD
MODERATE
SEVERE
UNABLE




DIFFICULTY
DIFFICULTY
DIFFICULTY
DIFFICULTY















1.
Open a tight or new jar.
1
2
3
4
5










2.
Write.
1
2
3
4
5










3.
Turn a key.
1
2
3
4
5










4.
Prepare a meal.
1
2
3
4
5










5.
Push open a heavy door.
1
2
3
4
5










6.
Place an object on a shelf above your head.
1
2
3
4
5









7.
Do heavy household chores (e.g., wash walls, wash floors). 1
2
3
4
5










8.
Garden or do yard work.
1
2
3
4
5










9.
Make a bed.
1
2
3
4
5










10.
Carry a shopping bag or briefcase.
1
2
3
4
5










11.
Carry a heavy object (over 10 lbs).
1
2
3
4
5










12.
Change a lightbulb overhead.
1
2
3
4
5










13.
Wash or blow dry your hair.
1
2
3
4
5










14.
Wash your back.
1
2
3
4
5










15.
Put on a pullover sweater.
1
2
3
4
5










16.
Use a knife to cut food.
1
2
3
4
5










17.
Recreational activities which require little effort








(e.g., cardplaying, knitting, etc.).
1
2
3
4
5

18.
(e.g., golf, hammering, tennis, etc.).
1
1
2
3
4
19.
Recreational activities in which you move your



3
4

arm freely (e.g., playing frisbee, badminton, etc.).
1
1
2
3
4



1
2
3
4
20.
Manage transportation needs

1
2
3
4

(getting from one place to another).
1
1
2
3
4



1
2
3
4
21.
Sexual activities.
1
1
2
3
4
Dihasilkan 82 skor dari penilaian diatas.
























1.7 UNDERLYING PROCCES
Trauma

CF shaft radius ulna 1/3 medial sinistra
Immobilisasi dan inflamasi

ADL dan  Aktivitas Fungsional

Nyeri
IR
Vasodilatasi Pembuluh Darah
Metabolisme lancar
Substansi P Meningkat
Spasme Menurun
TENS
Inhibisi serabut berdiameter besar (A-beta)
Menginduksi aktivitas aferen berdiameter kecil ( A delta dan C)
Nyeri Menurun
Keterbatasan LGS
Fleksibilitas otot meningkat 
Peningkatan LGS
Nyeri
Terapi latihan
(free aktif)
(resisted)
Penambahan jumlah sarkomen dan serabut otot, filamen aktif dan myosin
Perbaikan energi
Kekuatan otot meningkat
Radang lokal
































D.    DIAGNOSIS FISIOTERAPI
a.       Impairment
-          Nyeri gerak pada lengan  sinistra.
-          Terdapat oedema
-          Terdapat kelemahan otot  penggerak elbow dan wrist sinistra.
-          Terdapat keterbatasan gerak pada elbow dan wrist sinistra.
-          Adanya spasme pada M. biceps dan tricepas sinistra.
b.      Functional Limitation
Penurunan fungsi pada saat menggerakan  lengan sinistra dan kesulitan untuk aktivtas berpakaian.
c.       Disability
Pasien belum mampu belajar di sekolah karena masih di rawat inap.
E.     PROGRAM/RENCANA FISIOTERAPI
A.    TUJUAN
a.       Jangka Pendek
Mengurangi nyeri pada lengan sinistra
Mengurangi oedema pada elbow dan wrist sinistra.
Meningkatkan kekuatan otot pada elbow dan wrist sinistra.
Meningkatkan LGS elbow dan wrist sinistra
b.      Jangka Panjang
-          Melanjutkan tujuan jangka pendek
-          Meningkatkan kemampuan fungsi elbow dan wrist sinistra pasien seperti: berpakaian dan toileting.
B.     Tieknologi Intervensi Fisioterapi :
Teknologi Fisioterapi :
-             Breathing excercise
-          Active excercise
-          Wrist Pumping Exercise
-          Elevasi lengan bawah
-          Edukasi
E. RENCANA EVALUASI :
1)        Evaluasi nyeri dengan VDS
2)        Evaluasi Lingkup Gerak Sendi dengan goniometer.
3)        Evaluasi oedema dengan mitline.
4)        Evaluasi kemampuan fungsional dengan DASH score.
F.     PROGNOSIS
1.      Quo Ad Vitam                    : Bonam
2.      Quo Ad Sanam                    : Sanam
3.      Quo Ad Fungsionam           : Dubia ad Bonam
4.      Quo Ad Cosmecticam         : Dubia ad Bonam

G.    PELAKSANAAN FISIOTERAPI
 Exercise
-          Free aktif
Pasien tidur terlentang di atas bed, instruksikan pasien untuk menggerakan kedua siku, dan wrist secara bergantian dengan gerakan fleksi dan ekstensi secara aktif. Dilakukan 8 kali hitungan 3 kali pengulangan.
-          Resisted
Pasien tidur terlentang diatas bed, terapis memfiksasi pada area elbow diberikan tahanan pada gerakan fleksi dan ekstensi. 8 kali hitungan 3 kali pengulangan.
-          Hold relax
Pasien tidur tengkurap diatas bed, terapis memberikan arahan kepada pasien untuk mengkontraksikan otot dengan gerakan fleksi-ekstensi melawan tahanan yang diberikan oleh terapis. Lakukan kontraksi isometrik selama 6 detik dengan 10 kali pengulangan yang diselingi istirahat.
1.      HASIL EVALUASI TERAKHIR :
Evaluasi nyeri menggunakan VDS
Macam nyeri
T1
T2
D
S
D
S
Nyeri diam
0
4
O
2
Nyeri tekan
0
6
0
4
Nyeri gerak
0
8
0
6

Evaluasi Lingkup Gerak Sendi menggunakan goniometer
Elbow sinistra
S: 0-0-95
S: 0-0-125
R: 10-0-20
R: 15-0-20
Wrist sinistra
S: 0-0-40
S: 0-0-50
F: 18-0-15
F: 18-0-25

Evaluasi oedema menggunakan mitline
Letak ukur
Post op hari ke-1 
Post op hari ke-2
Selisih
Epicondylus  lateral
28,9 cm
28,9 cm
0 cm
5 cm di bawah epicondylus lateral
28,1 cm
28,1 cm
0 cm
10 cm di bawah epicondylus lateral
28,5 cm
25,7 cm
2,8 cm
15 cm di bawah epicondylus lateral
25,2 cm
23 cm
2,2 cm

Evaluasi kemampuan fungsional menggunakan Dash score
T1
T2
82
82


















BAB IV
PEMBAHASAN
Dalam studi kasus ini, seorang pasien laki-laki bernama Sdr. W usia 15 tahun dengan keluhan pada lengan bawah kiri terasa nyeri. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, maka penulis menyimpulkan bahwa masalah utama dari pasien tersebut adalah : (1) adanya rasa nyeri pada lengan bawah kiri, (2) adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada lengan bawah kiri, (3) adanya oedema pada lengan bawah kiri, dan (4) adanya penurunan kemampuan fungsional pada lengan bawah kiri.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka penulis memilih modalitas fisioterapi yaitu breathing excercise, dan Terapi Latihan. Setelah dilakukan 2 kali terapi, maka dilakukan penilaian nyeri dengan Visual Description Scale, keterbatasaan lingkup gerak sendi dengan menggunakan goneometer, penilaian edema dengan menggunakan  mitline, dan kemampuan fungsional menggunakan DASH score.
Evaluasi yang pertama adalah nyeri dengan visual description scale. Hasilnya dapat dilhat pada tabel 4.1 dibawah ini bahwa ada penurunan rasa nyeri  pada lengan bawah kiri.
Macam nyeri
T1
T2
D
S
D
S
Nyeri diam
0
4
O
2
Nyeri tekan
0
6
0
4
Nyeri gerak
0
8
0
6

Tabel 4.1 evaluasi nyeri
Evaluasi yang kedua adalah keterbatasan lingkup gerak sendi dengan goneometer. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini bahwa ada peningkatan lingkup gerak sendi pada lengan bawah kiri. Dari hasil tersebut membuktikan bahwa terapi menggunakan modalitas Terapi Latihan dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada lengan bawah kiri.
Elbow sinistra
S: 0-0-95
S: 0-0-125
R: 10-0-20
R: 15-0-20
Wrist sinistra
S: 0-0-40
S: 0-0-50
F: 18-0-15
F: 18-0-25

Tabel 4.2 evaluasi LGS
Evaluasi yang ketiga  adalah oedema  dengan mitline. Hasilnya dapat dilhat pada tabel 4.3 dibawah ini bahwa ada penurunan oedema  pada lengan bawah kiri. Dari hasil tersebut membuktikan bahwa terapi menggunakan modalitas Terapi Latihan dapat menurunkan oedema pada lengan bawah kiri.
Letak ukur
Post op hari ke-1 
Post op hari ke-2
Selisih
Epicondylus  lateral
28,9 cm
28,9 cm
0 cm
5 cm di bawah epicondylus lateral
28,1 cm
28,1 cm
0 cm
10 cm di bawah epicondylus lateral
28,5 cm
25,7 cm
2,8 cm
15 cm di bawah epicondylus lateral
25,2 cm
23 cm
2,2 cm
                                               
Tabel 4.3 evaluasi oedema
Evaluasi yang keempat adalah kemampuan fungsional  dengan dash score. Hasilnya dapat dilhat pada tabel 4.4 dibawah ini bahwa belum ada peningkatan kekuatan otot  pada lengan bawah kiri.
T1
T2
82
82

Tabel 4.4 evaluasi kemampuan fungsional

BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sdr W. berusia 15 tahun setelah diberikan terapi sebanyak 2 kali, maka hasilnya adalah sebagai berikut:
1.      Penurunan rasa nyeri pada elbow dan wrist sinistra
2.      Peningkatan lingkup gerak sendi elbow dan wrist sinistra
3.      Penurunan oedema pada elbow dan wrist sinistra
4.      Kemampuan fungsional elbow dan wrist sinistra masih sama
B.     Saran
Pada akhir penulisan makalah ini, penulis akan menyampaikan sedikit saran demi tercapainya tujuan terapi secara optimal, terutama pada fisioterapi, penderita, dan keluarga pasien.
1.    Bagi Fisioterapis
Untuk senantiasa berusaha meningkatkan pengetahuan, sehingga untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dapat muncul pada penderita dan dapat melakukan modalitas fisioterapi yang tepat untuk keberhasilan terapi dan fisioterapis hendaknya mampu bekerjasama dengan profesi lain.
2.    Bagi Pasien
Diharapkan ketekunan dan ketelatenan dalam melakukan terapi dan latihan di rumah secara teratur dapat menghasilkan terapi yang optimal, sehingga permasalahan pasien dapat terpecahkan.
3.    Bagi keluarga pasien
Bagi keluarga pasien, diharapkan lebih memotivasi pasien dalam membantu proses penyembuhan serta pengetahuan tentang hal-hal yang harus dan tidak boleh dilakukan oleh pasien.

DAFTAR PUSTAKA


American college of foot and ankle surgeons. 2008. Bone healing.

Apley A, Graham. 1995. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley. Jakarta: Widya Medika.

Black MM, Jacob ME. 1997. Medical surgical nursing. Ed.3 Philadelphia: W.B. Sounders.

Burhan E, Manjas M, Riza A, Erkadius. 2014. Perbandingan fungsi extremitas atas pada fraktur metafise distal radius intraartikuler usia muda antara tindakan operatif dan non operatif dengan penilaian klinis quick dash score. Jurnal kesehatan andalas. Hlm. 312.

Capernito, Linda Juall. 1993. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, ed 6. Jakarta: EGC.

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Engram B. 1998. Medical Surgical Nursing Care Plans. Volume 2. Editor : Ester Monica. Alih Bahasa : Suharyati Samba. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Harnowo, S. 2001. Keperawatan Medikal Bedah untuk Akademi Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.
Henderson, MA. 1997. Ilmu bedah untuk perawat. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika.

Hidayat, Aziz.A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Long, BC. 1996. Perawatan medikal bedah. Edisi 3 EGC, Jakarta.

Maharta GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. 2011. Manajemen fraktur pada trauma muskeletal. Bali: FK Udayana Bali
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ed 3, jilid 2. Jakarta: Aesculapius.

Price, S A & Wilson, L M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, jilid 2. Jakarta: EGC

Sfeir C, Ho L, Doll BA, Azari K, Hollinger JO. 2005. Fraktur repair, Human Pess Inc, Totowa, NJ.

Sjamsuhidayat R, Jong W. 2010. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta: Jakarta.

Sudoyo A. 2010. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi V. Jakarta: Interna Publishing

Tucker, SM. 1998. Standar perawatan pasien: proses keperawatan, diagnosa dan evaluasi. Edisi V. Jakarta: EGC.