Minggu, 21 Juli 2019

Apa itu Kinesio tape? Contoh penggunaan taping pada otot uppertrapezius


Apa itu Kinesio Tape?
Kinesio tape (pita Kinesio) adalah plester berperekat yang berbentuk pita dan terbuat dari bahan lateks. Pita ini mempunyai ketebalan dan elastisitas yang hampir menyerupai kulit manusia, sehingga tidak membatasi pergerakan saat digunakan dan tidak menimbulkan penekanan pada area perekatan, oleh karenanya dapat digunakan untuk jangka waktu yang cukup lama (5-7 hari), tanpa harus khawatir dengan pembatasan gerakan dan perlukaan area kulit yang direkatinya. Pita ini tahan air dan dapat digunakan selama latihan, mandi bahkan berenang, mengering dengan cepat dan jarang menimbulkan iritasi pada kulit. Elastisitas pita Kinesio ini memiliki potensi bentangan antara 130-140 % dari panjang aslinya.
Alat ini dikembangkan oleh Dr. Kenzo Kase, seorang Chiropractor pada tahun 1970 dengan maksud dan tujuan utama untuk mengurangi rasa sakit/nyeri dan meningkatkan penyembuhan jaringan lunak. Namun terdapat manfaat lain dari Kinesio tape yaitu mengurangi kelelahan otot, mengurangi pembengkakan (edema), meningkatkan drainase cairan limfatik dan meningkatkan aliran darah.
Bagaimana Prinsip Kerja Kinesio Tape?
Otot rangka yang sehat sangat penting agar manusia dapat bergerak dengan baik. Sebuah otot atau tendon yang tegang atau terluka, akan membuat gerakan kita menjadi lebih lemah dan lambat, terlebih apabila pekerjaan menuntut aktivitas fisik yang berat. Umumnya seseorang yang mengalami cedera otot, akan membatasi gerak karena nyeri dan untuk mencegah cedera lebih lanjut. Pembatasan gerak justru akan menghambat sirkulasi aliran darah, aliran limfatik dan akan memperlambat proses penyembuhan alami tubuh.
PRINSIP KERJA KINESIO TAPE
Sumber gambar: Kinesiotape.ca
Pemakaian pita Kinesio pada otot yang cedera akan menstabilkan dan menopang struktur jaringan lunak tubuh (otot, tendon, ligamen) dan sendi yang mengalami cedera/nyeri, agar tetap dapat digerakkan secara aktif, tanpa nyeri sehingga aliran darah dan limfatik tetap lancar sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan alami dengan baik.
 mANFAAT TERAPI KINESIO TAPE
prinsip taping adalah untuk mencegah dan melindungi persendian dan cedera otot, ini melibatkan pita elastis yang tidak mengandung bercak pereda nyeri seperti gel dan memperkuat fungsinya. ketika seseorang memiliki gangguan rasa sakit, menempel pada kulit, otot dan sendi fasia dapat mengembalikan fungsi dasar manusia.
Taping dirancang untuk memiliki ventilasi yang baik dan menyeimbangkan tubuh dengan otot karena ventilasi yang sangat baik dan daya tahan perekat yang lembut. juga pita itu elastis dan elastisitasnya mirip dengan kontraksi otot manusia yang memungkinkan kita memperoleh reaksi tubuh yang mendasar.
Taping menjaga otot dari overextended, dan dengan mengangkat kulit (sekitar 10 mikron) ruang antara kulit dan otot melebar. pada saat ini kulit membentuk bentuk spiral (gelombang), aliran darah dan getah bening dipromosikan antara lapisan fasia dan kemampuan untuk memajukan dipupuk, yang menenangkan rasa sakit. juga, fungsi gerak otot ditingkatkan, memungkinkan kita melakukan upaya fisik secara sehat. dengan demikian, terapi taping tidak memiliki efek samping, mudah dilakukan dan bekerja secara keseluruhan dengan cepat.
PRINSIP KERJA KINESIO TAPE
Efek taping
1. Taping memperbaiki fungsi otot dan menyebabkan kerusakan sekunder karena elastisitas pita, kulit dan otot distimulasi sehingga otot yang tegang kembali ke keadaan semula. ketika otot yang sakit diabaikan sendirian, otot yang mengelilinginya bereaksi, yang dapat menyebabkan kerusakan sekunder atau rasa sakit yang meningkat. oleh karena itu, merekam tidak hanya memperbaiki fungsi otot tetapi juga mencegah kerusakan sekunder.
2. Taping meningkatkan sirkulasi darah, getah bening dan cairan jaringan karena selotip mengangkat kulit, cairan jaringan yang stagnan atau cairan internal di bagian topikal dibuang dan sirkulasi darah atau getah bening dipromosikan, menenangkan rasa sakit.
3. Taping  meredakan rasa sakit
Dengan menempel taping pada bagian yang menyakitkan, itu menenangkan rasa sakit secara neurologis.
4. Taping mengoreksi dislokasi sendi
Otot di sekitar sendi sering terlalu tegang dan dengan menekannya, gerakan otot kembali ke dirinya sendiri, yang mencegah sendi menjadi terkilir.
Contoh penggunaan taping pada otot uppertrapezius
1. letakkan ujung pita di tepi bahu
2. pasien memutar kepala ke sisi yang berlawanan dari taping sejauh mungkin. menempelkan selotip ke garis rambut.

Sumber referensi:
2. Buku taping master by Lee Ilgu dan Kwangjae

Selasa, 16 Juli 2019

Fisioterapi pada flat foot atau kaki datar


Kaki rata atau flat foot adalah kondisi di mana lengkungan yang seharusnya terdapat di telapak kaki, menjadi rata. Pada bayi atau balita, kondisi ini tergolong normal karena tubuh mereka belum sepenuhnya berkembang. Namun pada anak-anak yang sudah lebih besar dan orang dewasa, kaki rata dapat menjadi tanda adanya kelainan pada tulang atau jaringan tendon kaki, jaringan yang menempelkan otot ke tulang.
Penyebab Kaki Rata
Kaki rata selalu berkaitan dengan tulang dan tendon pada telapak kaki atau tungkai bagian bawah. Pada anak-anak, kelainan sejak lahir merupakan penyebab paling sering terjadinya kaki rata. Meski demikian, kaki rata juga dapat disebabkan oleh faktor lain, seperti:
1.      Kerusakan atau peradangan pada kaki.
2.      Tendon longgar atau robek.
3.      Patah tulang atau dislokasi (perubahan posisi sendi).
4.      Gangguan saraf.
Risiko kaki rata juga akan meningkat jika:
1.      Obesitas
2.      Hamil
3.      Bertambah usia
4.      Diabetes
5.      Menggunakan sepatu yang terlalu sempit atau heels tinggi
Gejala Kaki Rata
Kaki rata ditandai dengan hilangnya lengkungan pada telapak kaki, sehingga seluruh bagian pada telapak kaki dapat menyentuh lantai ketika berdiri. Kaki rata pada awalnya masih bersifat elastis, yang berarti lengkungan masih dapat terlihat ketika pasien berjinjit. Namun seiring bertambahnya usia, kondisi dapat makin memburuk, terutama jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Kaki rata yang memburuk dapat menjadi kaku sepenuhnya, dan lengkungan tidak lagi terlihat meski ketika berjinjit.
Pada kasus tertentu, penderita kaki rata juga merasakan gejala lain, seperti:
1.      Nyeri, terutama pada area lengkungan atau tumit.
2.      Pergerakan terganggu, seperti sulit berdiri dengan menumpu pada jari kaki.
3.      Pembengkakan pada bagian bawah kaki.
4.      Kaki mudah pegal.
5.      Gatal.
Diagnosis Kaki Rata
Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan terhadap fisik dan kondisi pasien secara menyeluruh. Pada tahap awal, pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa:
1.      Pemeriksaan telapak kaki. Dalam tes ini, fisioterapis akan meminta pasien membasahkan kaki lalu berdiri pada suatu alas khusus. Alas tersebut akan menunjukan cetakan kaki pasien. Semakin tebal cetakan yang ada pada bagian lengkungan menunjukan bahwa pasien memiliki kaki rata.
2.      Pemeriksaan sepatu. Fisioterapis akan melihat sol sepatu pasien. Jika pasien memiliki kaki rata, maka terdapat bagian tertentu pada sol yang aus atau susut karena tergosok, terutama di bagian tumit.
3.      Tes jinjit. Tes ini berfungsi untuk melihat apakah kaki pasien masih bersifat elastis atau tidak. Dalam prosesnya, pasien akan diminta untuk berjinjit. Jika saat pasien berjinjit lengkungan pada kaki masih terlihat, maka kaki rata yang diderita pasien bersifat elastis.
Pengobatan Kaki Rata
Penanganan hanya diperlukan jika kaki rata menimbulkan gangguan, seperti rasa nyeri. Metode penanganannya pun berbeda-beda pada tiap pasien, harus disesuaikan dengan penyebab yang menyertai.
Bila diperlukan, terdapat 3 metode yang dilakukan untuk menangani kaki rata, yakni:
1.      Fisioterapi. Program fisioterapi yang dapat dilakukan adalah latihan peregangan atau pemberian alat khusus berupa sol atau sepatu khusus. Diskusikan lebih lanjut dengan dokter program yang sesuai dengan kondisi yang dialami.
Contoh peregangan/stretching:
a.      Toe raise, point and curl
Latihan ini memiliki tiga tahap dan akan membantu memperkuat semua bagian kaki dan jari kaki.

Untuk melakukan latihan ini:

Duduk tegak di kursi, dengan kaki rata di lantai.
Menjaga jari kaki di lantai, angkat tumit. Berhentilah ketika hanya bola-bola kaki yang tersisa di tanah.
Tahan posisi ini selama 5 detik sebelum menurunkan tumit.
Untuk tahap kedua, angkat tumit dan arahkan jari-jari sehingga hanya ujung jari besar dan kedua yang menyentuh lantai.
Tahan selama 5 detik sebelum menurunkan.
Untuk tahap ketiga, angkat tumit dan gerakkan jari-jari kaki ke dalam, sehingga hanya ujung jari yang menyentuh lantai. Tahan posisi ini selama 5 detik.
Bangun fleksibilitas dan mobilitas dengan mengulangi setiap tahap 10 kali.
b.      Toe splay
Splay jari kaki dikembangkan untuk meningkatkan kontrol atas otot kaki. Ini dapat dilakukan dengan kedua kaki sekaligus, atau pada kaki pengganti, tergantung pada kenyamanan.

Untuk melakukan latihan ini:

Duduk di kursi bersandaran lurus dengan kaki bersandar dengan lembut di lantai.
Rentangkan jari-jari sejauh mungkin tanpa melelahkan. Tahan posisi selama 5 detik.
Ulangi gerakan ini 10 kali.
Setelah beberapa kekuatan telah dibangun, coba lilitkan gelang karet di sekitar jari kaki. Ini akan memberikan perlawanan dan membuat latihan lebih menantang.
c.       Golf ball roll

Menggulirkan bola golf di bawah kaki dapat membantu meringankan ketidaknyamanan pada lengkungan dan meringankan rasa sakit yang terkait dengan kaki datar.

Untuk melakukan latihan ini:


Duduk tegak di kursi, dengan kaki rata di lantai.
Letakkan bola golf - atau bola keras dan kecil lainnya - di lantai di sebelah kaki.
Letakkan satu kaki di atas bola dan gerakkan, tekan ke bawah sekeras yang nyaman. Bola harus memijat bagian bawah kaki.
Lanjutkan selama 2 menit, lalu ulangi dengan kaki yang lain
Sebotol air beku bisa menjadi alternatif yang menenangkan jika tidak tersedia bola yang cocok.
2.      Obat-obatan. Obat hanya diberikan pada kondisi tertentu, misalnya kaki rata yang diderita disebabkan oleh rheumatoid arthritis. Dokter dapat memberikan obat golongan antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti ibuprofen, yang berfungsi untuk meredakan nyeri akibat peradangan yang ada.
3.      Operasi. Operasi juga dilakukan atas pertimbangan khusus, misalnya ketika kaki rata disebabkan oleh tendon yang robek atau patah tulang. Maka, operasi dilakukan untuk menangani penyebab kaki rata tersebut.
Pasien juga dapat melakukan perawatan mandiri guna mencegah atau mengendalikan rasa nyeri yang timbul. Di antaranya adalah:
1.      Gunakan sepatu atau alas kaki yang sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dan bentuk kaki.
2.      Beristirahat dan kompres kaki dengan es. Bila perlu, minum obat pereda nyeri yang dijual bebas, seperti paracetamol, ketika nyeri muncul.
3.      Lakukan peregangan. Tanyakan kepada dokter atau terapis mengenai peregangan yang dapat dilakukan sebelum kegiatan.
4.      Atasi kondisi kesehatan yang dapat memperburuk kaki rata, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan obesitas.
5.      Hindari aktivitas yang memberikan beban berlebih pada kaki, seperti berlari.
6.      Sebisa mungkin hindari olahraga yang terlalu membebani kaki, seperti bola basket, sepak bola, hoki, atau tenis.
Sumber referensi:
1.      Aenumulapalli, et al. (2017). Prevalence of Flexible Flat Foot in Adults: A Cross-Sectional Study. JCDR, 11(6), pp. AC17-AC20. 
2.      Pita-Fernandez, et al. (2017). Flat Foot in a Random Populations and its Impact on Quality Life and Functionality. JCDR, 11(4), pp. LC22-LC27. 
3.      Weatherford, BM. Orhtoinfo (2017). Adult Acquired Flatfoot. 
4.      Mayo Clinic (2018). Conditions & Diseases. Flatfeet. 
5.      Morrison, MA. Healthline (2016). Flat Foot. 
6.      Moyer, C. Verywell Health (2018). An Overview of Flat Feet. 
7.      Ratini, M. Web MD (2018). Fallen Arches.
8.      Best ways you can treat, prevent hammertoe. (2015, April 3). Retrieved from https://health.clevelandclinic.org/2015/04/best-ways-you-can-treat-prevent-hammertoe/
9.      Exercises for healthy feet. (n.d.). Retrieved from http://health.harvard.edu/healthbeat/exercises-for-healthy-feet
10.  Foot and ankle conditioning program. (2012, October). Retrieved from https://orthoinfo.aaos.org/en/recovery/foot-and-ankle-conditioning-program 
11.  Heel pain. (2017, August 3). Retrieved from https://www.nhs.uk/conditions/heel-pain/
12.  How to keep your feet flexible. (n.d.). Retrieved from http://aofas.org/footcaremd/how-to/foot-health/Pages/How-to-Keep-Your-Feet-Flexible.aspx
15.  Strengthening foot muscles to reduce pain and improve mobility. (2016, July). The Journal of Orthopaedic & Sports Physical Therapy46(7), 606. Retrieved from http://www.1stchoice-pt.com/files/2017/06/JOSPT-bunion-3.pdf
16.  Tips for preventing foot and ankle injuries. Retrieved from https://www.ucsfhealth.org/education/tips_for_preventing_foot_and_ankle_injuries/index.html


Selasa, 23 April 2019

DELAYED DEVELOPMENT (DD)


DELAYED DEVELOPMENT 

Keterlambatan perkembangan (development delayed) adalah ketertinggalan secara signifikan pada fisik, meliputi aktifitas merangkak, duduk, berdiri dan berjalan pada pasien bila dibandingkan dengan pasien normal seusianya.Seorang pasien dengan kondisi development delayed akan tertunda dalam mencapai satu atau lebih perkembangan kemampuannya. Seorang pasien dengan development delayed  adalah pasien yang tertunda dalam mencapai sebagian besar hingga semua tahapan perkembangan pada usianya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keterlambatan perkembangan pasien yaitu faktor internal meliputi faktor keturunan dan faktor kondisi pasien dan faktor eksternal meliputi kelahiran, gizi dan psikologis.
Fisioterapi pada kasus development delayed berperan dalam meningkatkan kemampuan fungsional agar pasien mampu hidup mandiri sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap orang lain (Shapherd, 1995).
METODE PENELITIAN
1.      Pendekatan
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus
2.      Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan interview kepada orang tua pasien dan observasional pada seorang pasien dengan kondisi development delayed.
Desain penelitian digambarkan sebagai berikut :
 




Keterangan :
A : Keadaan pasien sebelum diberikan program fisioterapi
B : Keadaan pasien setelah diberikan program fisioterapi
C : Program Fisioterapi
Permasalahan yang timbul sebelum pasien menjalani program Fisiolterapi adalah pasien hipersensitif, mengalami kelemahan tonus postural, pasien mengalami keterlambatan perkembangan berupa belum bisa jongkok ke berdiri dan berjalan serta gangguan aktifitas fungsional, kemudian pasien di bawa ke fisioterapi untuk menjalani program terapi. Sebelumnya pasien menjalani pemeriksaan fisioterapi yaitu berupa sensitifitas dengan skala sensoris, kelemahan tonus poaturan dengan skala XOTR, keterlambatan perkembangan dengan DDST, dan gangguan sktifitas fungsional dengan GMFM. Setelah melakukan pemeriksaan didapatkan permasalahan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional, oleh fisioterapi pasien diberikan modalitas fisioterapi berupa terapi latihan metode play exercise. Dengan pemberian modalitas tersebut diharapkan adanya peningkatan pada kapasitas fisik dan kemampuan fungsional.
Instrument Penelitian
1.      Sensitifitas diukur dengan skala sensoris
Yaitu pemeriksaan dengan menggunakan skala sensoris
Tabel 1 Pemeriksaan Sensoris
No.
Sensori
Me-ngenal
Mem-bedakan
Asosiasi
1.
Visual
+
+
±
2.
Auditory
+
+
±
3.
Touch
+
+
±
4.
Smell
+
+
±
5.
Taste
+
+
±
6.
Tactile
+
±
±
7.
Propioceptive
+
±
±
8.
Vestibular
+
-
-
Dengan kriteria nilai (+) ada, (-) tidak ada, (±) kadang ada kadang tidak
2.      Kelemahan tonus posturan dengan skala XOTR
Yaitu pengukuran pada semua anggota gerak badan termasuk ekstremitas atas dan ekstremitas bawah dengan kriteria penilaian sebagai berikut :
X :kekuatan otot normal
O : tidak ada kontraksi otot
T : ada kontraksi otot dan sedikit gerakan
R : terdapat reflek
3.      Keterlambatan perkembangan dengan DDST
Suatu metode screening pada kelainan perkembangan pasien, dengan prosedur pemeriksaan sebagai berikut :
a.          Menetapkan umur kronologis pasien terlebih dahulu, dengan menanyakan tanggal lahir pasien yang akan diperiksa. Dengan menggunakan patokan 1 bulan sama dengan 30 hari, 12 bulan dalam satu tahun.
b.         Apabila dalam perhitungan umur kurang dari 15 hari maka dibulatkan ke bawah, namun jika sama dengan atau lebih dari 15 hari maka dibulatkan ke atas.
c.          Tarik garis berdasarkan umur kronologis yang memotong garis horizontal tugas perkembangan pada formulir DDST.
Selanjunya dihitung pada masing-masing sektor, berapakah nilai ‘P’ dan nilai ‘F’.





scane 2Tabel 2 Pemeriksaan DDST







4.      Aktifitas fungsional dengan GMFM
Pemeriksaan gross motor bertujuan untuk mengetahui kemampuan pasien melakukan gerakan-gerakan seperti terlentang, terlungkup, berguling (rolling), merayap (crawling), duduk (sitting), merangkak, bertumpu pada lutut (kneeling) dan berdiri (standing)
Yang perlu diperhatikan antara lain:
a.       Mampukah pasien melakukan gerakan-gerakan tersebut diatas sesuai dengan tingkat kemampuan usianya.
b.      Cara pasien melakukan gerakan tersebut diatas, normal atau tidak.
c.       Ada tidaknya gerakan kompensasi yang mungkin timbul.
d.      Ada tidaknya sesuatu yang menghambat gerakannya.
Prosedur Pengambilan Data
a.       Pemeriksaan fisik
Bertujuan untuk mengetahui keadaan fisik pasien. Pemeriksaan ini terdiri dari : vital sign, inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerakan dasar, kemampuan fungsional dan lingkungan aktivitas.
b.      Interview
Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan data dengan jalan Tanya jawab antara terapis dengan sumber data.
c.       Observasi
Dilakukan untuk mengamati perkembangan pasien sebelum terapi, selama terapi dan sesudah diberikan terapi.
Obyek yang dibahas
1.      Sensitifitas sensoris
Pemeriksaan sensoris adalah suatu pemeriksaan pada kemampuan pasien dalam menerima suatu rangsangan yang terdiri dari : (a) visual yaitu penglihatan, (b) auditori yaitu pendengaran, (c) touch yaitu sentuhan, (d) smell yaitu kemampuan mencium aroma, (e) taste yaitu kesadaran, (f) taktile yaitu respon tekanan, (g) proprioceptive yaitu pengenalan sendi dan (h) vestibular yaitu keseimbangan


2.      Tonus postural
Dalam menentukan tonus postural, tidak hanya menggunakan gerakan aktif atau pasif, melainkan dengan mengamati reaksi postural. Dengan cara ini kita dapat sekaligus melihat sejauh mana tonus abnormal tersebut menganggu gerakan atau aktivitas serta bagian mana yang lebih di prioritaskan.
Adapun kualitas tonus otot dapat berupa:
a.         Hypotonus, normal, hypertonus
b.        Ekstensor / fleksor lebih dominan
c.         Jenis spastik, athetoid, ataksia atau campuran.



3.      Tumbuh kembang
Pertumbuhan dan perkembangan adalah mencakup dua aspek yang berbeda tetapi saling berkaitan dan sulit di pisahkan, sedangkan definisinya adalah sebagai berikut :
a.       Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bias diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter) , umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Soetjiningsih,2005).
b.      Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diperhitungkan, sebagai hasil dari proses pematangan (Soetjiningsih,2005) .
4.      Aktivitas Fungsional
Pemeriksaan aktivitas fungsional disesuaikan dengan kemampuan pasien dan dilakukan untuk menilai seberapa besar tingkat kemandirian pasien, apakah pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya secara mandiri, dibantu sebagian atau sepenuhnya. Untuk melakukan pemeriksaan ini dapat digunakan Gross Motor Function Measurement (GMFM).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Sensoris
Yaitu kemampuan tubuh dalam menginterprestasikan kondisi di sekitar dengan menggunaka indra yang dimiliki oleh tubuh sedangkan gangguan sensoris suatu gangguan dimana terjadi peningkatan ambang rasa atau kemampuan pada system sensoris tubuh sehingga mengakibatkan beberapa indra pada tubuh mengalami peningkatan kemampuan dan hal tersebut dapat menjadi suatu problematika pada seseorang. Gangguan sensoris pada pasien ini adalah pasien mengalami hipersensitif pada rangsangan sentuhan sehingga pasien akan menolak  jika disentuh tubuhnya terutama pada area kepala.





Tabel 2 Evaluasi Sensoris
TERAPI
VISUAL
AUDT.
TOUCH
SMELL
TASTE
TACTL
PROP.
VESTB.

MENGENAL
T1
+
+
+
+
+
+
+
+
T2
+
+
+
+
+
+
+
+
T3
+
+
+
+
+
+
+
+
T4
+
+
+
+
+
+
+
+
T5
+
+
+
+
+
+
+
+
T6
+
+
+
+
+
+
+
+
MEMBEDAKAN
T1
+
+
+
+
+
±
±
-
T2
+
+
+
+
+
±
±
-
T3
+
+
+
+
+
±
±
-
T4
+
+
+
+
+
±
±
-
T5
+
+
+
+
+
±
±
-
T6
+
+
+
+
+
±
±
-
ASOSIASI
T1
±
±
±
±
±
±
±
-
T2
±
±
±
±
±
±
±
-
T3
±
±
±
±
±
±
±
-
T4
±
±
±
±
±
±
±
-
T5
±
±
±
±
±
±
±
-
T6
±
±
±
±
±
±
±
-


2.      Kelemahan Tonus postural
Kelemahan tonus postural tampak pada paienusia bulan pertama tampak flacid (lemas) dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak flacid dan sikapnya seperti kodok terlentang, refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah reflek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.
REGIO
T 1
T 2
T 3
T 4
T 5
T 6
Shoulder: Dekstra
X
X
X
X
X
X
Sinistra
X
X
X
X
X
X
Elbow:     Dekstra
X
X
X
X
X
X
Sinistra
X
X
X
X
X
X
Wrist:      Dekstra
X
X
X
X
X
X
Sinistra
X
X
X
X
X
X
HIP:         Dekstra
X
X
X
X
X
X
Sinistra
X
X
X
X
X
X
Knee:       Dekstra
X
X
X
X
X
X
Sinistra
X
X
X
X
X
X
Ankle:     Dekstra
T
T
T
T
X
X
Sinistra
T
T
T
T
X
X
  Tanggal
31/5
3/6
5/6
7/6
10/6
12/6
Tabel 4 Evaluasi tonus postural (XOTR)


3.      Keterlambatan Tumbuh kembang
Keterlambatan tumbuh kembang adalah ketertinggalan secara signifikan pada fisik, kemampuan kognitif, perilaku, emosi, atau perkembangan sosial seorang pasien bila dibandingkan dengan pasien normal seusianya.Seorang pasien dengan development delayed akan tertunda dalam mencapai satu atau lebih perkembangan kemampuannya.
Tabel 5 Evaluasi DDST
TERAPI (TGL)
MOTORIK KASAR
BAHASA
MOTORIK HALUS
PERSONAL SOSISAL
T1 (31/5)
   6 aspek
1 aspek
Normal
Normal
T2 (3/6)
6 aspek
1 aspek
Normal
Normal
T3 (5/6)
6 aspek
1 aspek
Normal
Normal
T4 (7/6)
6 aspek
1 aspek
Normal
Normal
T5 (10/6)
6 aspek
1 aspek
Normal
Normal
T6 (12/6)
6 aspek
1 aspek
Normal
Normal
Dimensi
T1
T2
T3
T4
T5
T6
Berguling
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
Merayap
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
Duduk
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
Berdiri
48.7 %
48.7 %
48.7 %
48.7 %
56.4%
56.4%
Berjalan
5.5%
11.1%
12.5%
15.3%
20.8%
20.8%
Score
354.2
5
= 70.8 %
359.8
5
= 71.9%
361.2
5
= 72.2%
364
5
= 72.8%
377.2
5
= 75.4%
377.2
5
= 75.4%

4.      Aktivitas Fungsional
Kemampuan fungsional adalah kemampuan dari pasien untuk melakukan aktivitas sehari-harinya. Terganggunya aktivitas fungsional oleh karena adanya kelemahan tonus postural sehingga pasien tidak mampu melakukan aktivitasnya. Untuk mengetahui kemampuan fungsional dari pasien digunakan GMFM. Gangguan pada  kemampuan fungsional pasien yaitu pasien tidak mampu berdiri sendiri dari posisi jongkok dan tidak mampu benjalan secara mandiri. Dari tabel berikut ini dapat dilihat adanya peningktan kemampuan fungsional pasien terutama pada kemampuan berdiri dan berjalan.
Tabel 6 Evaluasi GMFM

KESIMPULAN
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa development delayed dapat mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan-permasalahan fisioterapi yaitu (1) hipersensitifitas, (2) kelemahan tonus postural, (3) keterlambatan tumbuh kembang dan (4) gangguan aktifitas fungsional, modalitas fisioterapi yang digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut adalah terapi latihan dengan metode play exercise. Setelah dilakukan tindakan fisioterapi sebanyak 6x terapi dengan menggunakan modalitas Terapi latihan metode play exercise didapatkan hasil : belum ada peningkatan pada kemampuan sensoris dan tumbuh kembanya namun terdapat peningkatan tonus postural pada regio ankle yaitu dari T1 = T (ada kontraksi dan sedikit gerakan) menjadi T6 = X (kontraksi dan gerakan terkoordinasi) dan peningkatan kemampuan aktivitas fungsional yaitu pada dimensi berdiri dari T1 = 48,7% menjadi T6 = 56,4 % dan dimensi berjalan dari T1= 5,5% menjadi T6=20,8%. Data –data tersebut menunjukan adanya perkembangan pasien kea rah perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Chusid, GJ. 1993; Neuro anatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Bagian Pertama ( ditejermahkan dr. Andri Hartono). Gajah Mada University Press
Eckersley, Pamela M.(ed). 1993.Element of Paediatric Physiotherapy. Longman Group UK Limited,New York
Haditono. 2004. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama.                      PT. Refika Aditama,Jakarta
Schimid.R.A. 1988. Motor Control and Learning Behavioral Emphasis, Human             Kinetics Publihers. Illionis (http// Jariono.blogspot.com/2010/02/peranan-           motor-learning-dalam.html).
Shepherd, R.B. 1995. Physiotheraphy in Paediatrics. Third Edition. Butterworth Heinmann, Oxford
Singgih, D Gunarsah.1996. Psikologi Olahraga. PT. BPK Gunung Mulia,Jakarta
Siobah, 2010. Ekstra pyramidal dan pyramidal. Diakses : 16 Juni 2013, http://siobahcruel.wordprwss.com/2010/03/29/ekstra-pyramidal-dan-pyramidal/
Soetjiningsih. 2005. Tumbuh Kembang Anak .Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Stock Kranowitz, Carol. 2003. The Out-of-Sync Child Has Fun. The Berkley Publishing Group,New York